Dijauhi pemerintahan baru dan hierarki Buddhis di Myanmar, seorang biksu nasionalis yang dipersalahkan atas semangat anti-Muslim berdarah mengatakan, ia merasa sikapnya divalidasi oleh warga AS yang memilih Donald Trump menjadi presiden.
Wirathu, pemimpin terkemuka organisasi Buddhis Myanmar yang dikenal sebagai Ma Ba Tha, menarik persamaan antara pandangannya mengenai Islam dengan pandangan presiden terpilih dari Partai Republik itu.
Kampanye Trump dipenuhi retorika dan proposal anti-Muslim yang termasuk pelarangan Muslim memasuki negara dan meningkatkan pengawasan terhadap masjid-masjid. Bentuk nyata kebijakan-kebijakannya masih belum jelas.
"Kita dipersalahkan oleh dunia, tapi kita hanya melindungi rakyat dan negara kita," ujar Wirathu.
"...Dunia menyebut kita picik. Tapi karena orang-orang dari negara yang merupakan kakek demokrasi dan hak asasi manusia memilih Donald Trump, yang serupa dengan saya dalam memprioritaskan nasionalisme, komunitas internasional tidak akan begitu menyalahkan."
Ia bahkan mengemukakan ide untuk bekerjasama dengan kelompok-kelompok nasionalis di AS.
"Di Amerika, akan ada organisasi-organisasi seperti kita yang melindungi diri dari bahaya Islamisasi. Organisasi-organisasi itu dapat mendatangi organisasi-organisasi di Myanmar untuk mendapatkan saran atau untuk berdiskusi," ujarnya dalam wawancara di biaranya di Mandalay pada 12 November.
"Myanmar tidak begitu perlu mendapat saran dari negara lain. Tapi mereka bisa mendapat ide dari Myanmar."
Wirathu telah dituduh memicu kekerasan dengan retorika penuh kebencian dan anti-Islam di negara Asia Tenggara dengan mayoritas penduduknya yang mencapai 55 juta orang beragama Buddha.
Kerusuhan yang dipimpin kelompok Buddhis membuat lebih dari 200 orang tewas tahun 2012 dan mendorong lebih dari ratusan ribu lainnya untuk mengungsi, sebagian besar dari mereka adalah Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.
Sentimen anti-Rohingya masih tetap tinggi di Myanmar. Para anggota kelompok etnis tersebut secara luas dianggap telah berimigrasi secara ielgal dari Bangladesh, meskipun banyak keluarga Rohingya telah tinggal di Myanmar selama bergenerasi lamanya.
Namun pengaruh Wirathu telah melemah dalam setahun terakhir. Ia mendukung pemerintahan militer sebelum pemilihan umum bulan November 2015, hanya untuk menyaksikan bekas partai penguasa kalah besar dari Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi. [hd]