Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan sepanjang minggu ke-2 bulan Juli 2024 terjadi belasan peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Perkembangan baru ini menandakan periode karhutla dan kekeringan di Indonesia sudah dimulai.
“Ada 13 kali kejadian kebakaran hutan dan lahan dan kita mencatat ada dua laporan kebakaran tempat pembuangan sampah dan yang paling parah itu di TPA (tmpat pembuangan akhir-red) Alak di kota Kupang yang sampai saat ini masih dalam proses penanganan,” kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muharisaat berbicara dalam acara Disaster Briefing Waspada Karhutla di kanal YouTube BNPB Indonesia, Senin (22/7).
Pada tujuh provinsi prioritas penanganan Karhutla tercatat sejak Januari hingga 22 Juli 2024 total luas lahan terbakar di Riau mencapai 572,9 hektare, Kalimantan Tengah 275 hektare, Kalimantan Barat 35 hektare, Sumatera Selatan 21 hektare, Kalimantan Timur s9,7 hektare, Kalimantan Selatan 2 hektare, sementara Jambi belum melaporkan adanya kejadian Karhutla. Angka-angka tersebut masih rendah dibandingkan dengan tahun 2023.
“Ini gambaran dari kejadian karhutla selama 2024, memang ini kalau dikomparasi dengan 2023, ini sangat sedikit ya kalau di 2024. Tapi sekali lagi kita baru masuk di fase itu, kita baru di minggu kedua, data yang masuk kita sampai minggu kedua Juli, tapi kita harapkan ini tidak tidak bertambah signifikan ya karena tahun ini kita tidak di fase El Nino,” kata Abdul Muhari.
Sebagai perbandingan luas lahan terbakar pada tahun 2023 di Kalimantan Selatan mencapai 10 ribu hektare, Kalimantan Tengah 13 ribu hektare dan Jambi 1,7 ribu hektare.
Menurut Abdul Muhari, upaya mitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan harus dilakukan oleh semua pihak, seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Kejadian Karhutla paling banyak diakibatkan aktivitas manusia, termasuk karena hal sepele seperti membuang puntung rokok sembarangan.
Kekeringan di Indonesia juga telah dirasakan oleh masyarakat di sejumlah wilayah di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
“Meskipun masih ada potensi hidrometeorogi basah di tengah ke timur Indonesia tetapi untuk Jawa, Bali, Nusa Tenggara ini sudah sangat serius, hari tanpa hujan sudah sangat lama, kekeringannya sudah cukup signifikan, kebakaran kawasan gunungnya sudah mulai terjadi, kebakaran kawasan pembuangan sampahnya sudah terjadi, jadi ini adalah alarm yang benar-benar harus kita waspadai bersama,” jelas Abdul Muhari.
Dampak Kekeringan pada Anak
Media and Brand Manager Save the Children Indonesia, Dewi Sri Sumanah mengatakan dari hasil kajian cepat yang dilakukan pihaknya pada 2023 di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur , ditemukan dampak kekeringan saat musim kemarau memperburuk masalah kesehatan danpendidikan anak.
“Nah, kajian kami di Sumba Timur, juga seperti yang tadi saya sampaikan bahwa masyarakat ini harus melakukan perjalanan 1,5 sampai 3 kilometer ke mata air gitu ya. Dan ini selalu dilakukan setiap hari pukul 5 pagi dengan tidak ada penerangan dan kebanyakan anak-anak juga dilibatkan dalam proses pengambilan air,” kata Dewi Sri Sumanah, yang dihubungi VOA, Selasa (23/7) malam.
Situasi sulit tersebut meningkatkan stres dan juga tekanan emosional dalam keluarga hingga akhirnya ada yang berujung pada kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.
Menurutnya sangat penting bagi masyarakat yang terdampak kekeringan mendapat bantuan dari pemerintah yang sifatnya membangun ketahanan atau resiliensi.
BACA JUGA: BMKG: 19% Zona Musim Masuki Musim Kemarau, Operasi Modifikasi Cuaca DimulaiEdukasi juga perlu diberikan kepada masyarakat sehingga memungkinkan mereka mengambil langkah-langkah antisipasi, seperti perbaikan fasilitas perpipaan air bersih yang menghubungkan masyarakat dengan sumber air yang jauh, seperti yang dilakukan oleh warga desa Mbatapuhu, Sumba Timur ,yang menjadi dampingan Save the Children Indonesia.
Di sisi yang lain informasi peringatan dini bencana kekeringan berperan penting dalam upaya mitigasi kekeringan oleh pemerintah desa dan masyarakat.
“Sehingga ketika ada informasi terkait dengan kekeringan atau ada suatu peringatan, mereka ini di level desa bisa mengetahui dan memahami informasinya sehingga menggunakan informasi ini untuk melakukan sebuah aksi mitigasi,” kata Dewi.
Your browser doesn’t support HTML5
Musim Kemarau Mendominasi Hingga September 2024
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam prediksi yang disampaikan pada akhir Mei 2024 mengungkapkan kondisi kekeringan selama musim kemarau akan mendominasi wilayah Indonesia mulai Juni hingga September 2024. Upaya mitigasi kekeringan perlu dilakukan untuk daerah-daerah yang berpotensi mengalami curah hujan bulanan sangat rendah -- di bawah 50 milimeter per bulan.
Selain itu pemerintah daerah dan masyarakat diimbau untuk mengantisipasi dampak musim kemarau yaitu kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan. [yl/ab]