Setelah tidur lebih dari setengah abad, aktivitas vulkanologi Gunung Agung di Pulau Bali sejak pekan lalu mulai meningkat. Status gunung berapi setinggi 3.031 meter di atas permukaan air laut ini telah ditingkatkan dari "siaga" menjadi “awas” atau berarti tingkat tertinggi dalam aktivitas vulkanologi.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi mengatakan aktivitas saat ini mirip dengan gejala-gejala sebelum Gunung Agung meletus terakhir kali pada 18 Februari 1963, di mana ketika itu erupsi berlangsung selama hampir setahun, hingga 27 Januari 1964.
Dalam jumpa pers di kantornya, Senin (25/9), Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan sekarang ini ada 127 gunung berapi aktif di Indonesia atau berarti 13% dari total gunung berapi aktif di dunia.
Dari jumlah tersebut, lanjut Sutopo, ada 20 gunung berapi berstatus di atas normal. Dua gunung berapi berstatus "awas", status paling tinggi dari gunung berapi aktif, yakni Gunung Sinabung sejak 2 Juni 2015 dan Gunung Agung sejak 22 September 2017.
Sedangkan 18 gunung berapi lainnya berstatus "waspada" atau level kedua. Namun gunung berapi berstatus "waspada" tetap bisa meletus kapan saja namun hanya sesaat. Gunung-gunung berapi berstatus "waspada" ini antara lain Gunung Dieng, Dempo, Bromo, Rinjani, dan Soputan.
Menurut Sutopo, letusan Gunung Agung pada 1963 konon mencapai ketinggian 20 kilometer. Letusan kala itu memuntahkan material-material berupa air sulfat dan menyebar hingga ke atmosfer dan menyebabkan temperatur Bumi menurun 0,4 derajat Celcius. Dia menekankan dampak dari letusan Gunung Agung pada 54 tahun lalu tersebut sangat besar dan mematikan.
"Ternyata dampak letusannya 1.549 orang meninggal, 1.700 rumah hancur, 225 ribu jiwa kehilangan mata pencaharian, dan seratus ribu mengungsi. Dampak susulannya ketika musim hujan berupa banjir lahar menghancurkan permukiman di sisi selatan lereng Gunung Agung yang menyebabkan 200 orang tewas dan 316.518 ton produksi pertanian hancur," papar Sutopo.
Sayangnya, kata Sutopo, lembaganya tidak memiliki data panjang erupsi Gunung Agung. Menurutnya, tiap gunung berapi memiliki periode erupsi berbeda-beda. Periode pendek memiliki masa 2-7 tahun, periode menengah 10-12 tahun, dan periode panjang seratus tahun.
Lebih lanjut Sutopo mengatakan berdasarkan gempa vulkanik dangkal dan gempa vulkanik dalam, aktivitas Gunung Agung saat ini sangat tinggi sekali. Dia menjelaskan Gunung Agung sekarang memasuki fase kritis. Artinya dari segala pengamatan instrumentasi, menunjukkan ada proses magma mendorong ke permukaan tetapi tersumbat oleh material-material batuan yang ada di sana.
Dorongan tadi menimbulkan gempa. Ada gempa vulkanik dalam dengan kedalaman 10-20 kilometer dari mulut kawah dan ada gempa vulkanik dangkal sedalam 3-5 kilometer. Sutopo menegaskan meski sudah berstatus "awas" Gunung Agung belum tentu meletus, tergantung energi yang didorongkan. Oleh karena itu BNPB maupun otorita berwenang lain tidak bisa memastikan kapan Gunung Agung akan meletus.
"Tetapi dari seluruh pengamatan menunjukkan potensi untuk meletusnya tinggi dan sampai saat ini Gunung Agung belum meletus. Jadi kalau ada banyak informasi menyampaikan terjadi letusan dan sebagainya, itu hoaks. PVMBG dan seluruh ahli di dunia tidak tahu. Tidak ada satu instrumentasi pun yang bisa memprediksi secara pasti gunung akan meletus," tambahnya.
Menurut Sutopo, kondisi Gunung Agung sangat kritis karena frekuensi gempa vulkaniknya semakin banyak, rata-rata hampir 500 per hari. Berdasarkan data dari satelit, ada penggelembungan tubuh dari Gunung Agung karena ada energi yang tersumbat.
Berdasarkan letusan Gunung Agung pada 1963, lanjut Sutopo, daerah beradius sembilan kilometer dari kawah ditambah radius 12 kilometer di sektor utara sampai timur laut, tenggara, selatan, dan barat daya harus dikosongkan karena adanya ancaman awan panas kalau Gunung Agung meletus lagi.
Sutopo menjelaskan awan panas tersebut memiliki suhu 600-800 derajat Celcius dengan kecepatan luncuran dari kawah bisa mencapai 300 kilometer per jam. Bahaya lainnya berupa aliran lava, guguran batu, batu pijar terlontar dari dalam kawah, dan hujan abu lebat.
Dalam radius yang harus kosong tersebut, diperkirakan ada 62 ribu orang mesti diungsikan.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara itu, ahli Geologi dan Vulkanologi yang juga Mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian ESDM, Surono mengimbau agar warga yang masih bertahan di sekitar lereng Gunung Agung, Bali segera mengungsi.
"Karena awan panas biasanya mempunyai kecepatan yang sangat tinggi 300 meter/jam dengan temperatur 600-800 derajat Celcius, oleh karena itu sangat berbahaya sekali. Tidak mungkin masyarakat berkejaran dengan awan panas tidak mungkin," kata Surono. [fw/em]