Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyatakan sangat penting bagi masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana untuk memiliki asuransi.
JAKARTA —
Deputi Rekonsiliasi dan Rekonstruksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Bambang Sulistianto mengatakan, asuransi bencana alam untuk masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana sangatlah penting.
Asuransi ini, lanjutnya, sangat diperlukan khususnya untuk tahap rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan setelah selesainya tanggap darurat pada saat bencana. Dengan adanya asuransi ini, kata Bambang, rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan dapat dilakukan secara cepat.
Fungsi utama asuransi bencana alam ini, tambahnya, adalah untuk memberikan stimulus bagi masyarakat untuk membangun kembali rumahnya. Menurut Bambang, BNPB sudah pernah berusaha mengajukan permohonan adanya asuransi bencana kepada pemerintah yang dalam hal ini melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
BNPB, lanjut Bambang, sudah pernah menyiapkan polis dengan uang pertanggungan sebesar Rp 10 triliun dengan premi tahunan sebesar Rp 500 miliar. Namun hal ini masih menunggu persetujuan Kementerian Keuangan, ujarnya.
“Tetapi kan sebenarnya itu investasi. Hilang Rp500 tidak apa-apa tetapi kalau terjadi bencana masyarakat tidak seperti sekarang, tunggu dulu dananya, harus menyiapkan dulu,” ujarnya.
“Contohnya di Sumatera Barat, itu untuk gempa 2009 butuhnya Rp 6,4 trilliun. Seandainya itu kemarin disetujui, maka Rp 6,4 trilliun itu tidak usah repot-repot kita, rumah sudah langsung dibangun oleh asuransi. Tetapi karena tidak ada, kita mengeluarkan alokasi Rp 4 trilliun itu dalam waktu tiga tahun. Itupun sekarang masih ada rumah-rumah yang belum dibangun.”
Peta Indeks Rawan Bencana yang dimiliki oleh BNPB menyatakan 175 kabupaten di Indonesia merupakan daerah rawan bencana tinggi, sedangkan 150 kategori sedang dan 95 kabupaten rendah. Adapun kabupaten yang dipetakan rawan tsunami berjumlah 150 kabupaten.
Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Maruarar Sirat mendukung adanya asuransi bencana untuk masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana.
Meski demikian, lanjutnya, produk asuransi bencana alam ini harus memiliki dasar hukum yang kuat sehingga nantinya tidak merugikan uang negara.
“Misalnya bayar premi kemudian kalau tidak dipakai jangan menimbulkan kerugian negara, jadi hal itu betul-betul harus jelas secara utuh. Kemudian itu mencakup apa saja, intinya kan itu. Rumah penting juga tetapi bagaimana pendidikan, kesehatan, mental mereka. Jadi perencanaan itu harus utuh jangan parsial-parsial lagi,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Kornelius Simanjuntak mengatakan pihaknya siap untuk mengelola asuransi bencana alam itu. Pemerintah dan DPR, tambahnya, harus segera membentuk undang-undang bencana yang didalamnya juga mengatur tentang asuransi bencana alam tersebut.
Asuransi bencana alam ini sudah diterapkan di sejumlah negara seperti Turki, Jepang, Kanada dan Selandia Baru.
Asuransi ini, lanjutnya, sangat diperlukan khususnya untuk tahap rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan setelah selesainya tanggap darurat pada saat bencana. Dengan adanya asuransi ini, kata Bambang, rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan dapat dilakukan secara cepat.
Fungsi utama asuransi bencana alam ini, tambahnya, adalah untuk memberikan stimulus bagi masyarakat untuk membangun kembali rumahnya. Menurut Bambang, BNPB sudah pernah berusaha mengajukan permohonan adanya asuransi bencana kepada pemerintah yang dalam hal ini melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
BNPB, lanjut Bambang, sudah pernah menyiapkan polis dengan uang pertanggungan sebesar Rp 10 triliun dengan premi tahunan sebesar Rp 500 miliar. Namun hal ini masih menunggu persetujuan Kementerian Keuangan, ujarnya.
“Tetapi kan sebenarnya itu investasi. Hilang Rp500 tidak apa-apa tetapi kalau terjadi bencana masyarakat tidak seperti sekarang, tunggu dulu dananya, harus menyiapkan dulu,” ujarnya.
“Contohnya di Sumatera Barat, itu untuk gempa 2009 butuhnya Rp 6,4 trilliun. Seandainya itu kemarin disetujui, maka Rp 6,4 trilliun itu tidak usah repot-repot kita, rumah sudah langsung dibangun oleh asuransi. Tetapi karena tidak ada, kita mengeluarkan alokasi Rp 4 trilliun itu dalam waktu tiga tahun. Itupun sekarang masih ada rumah-rumah yang belum dibangun.”
Peta Indeks Rawan Bencana yang dimiliki oleh BNPB menyatakan 175 kabupaten di Indonesia merupakan daerah rawan bencana tinggi, sedangkan 150 kategori sedang dan 95 kabupaten rendah. Adapun kabupaten yang dipetakan rawan tsunami berjumlah 150 kabupaten.
Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Maruarar Sirat mendukung adanya asuransi bencana untuk masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana.
Meski demikian, lanjutnya, produk asuransi bencana alam ini harus memiliki dasar hukum yang kuat sehingga nantinya tidak merugikan uang negara.
“Misalnya bayar premi kemudian kalau tidak dipakai jangan menimbulkan kerugian negara, jadi hal itu betul-betul harus jelas secara utuh. Kemudian itu mencakup apa saja, intinya kan itu. Rumah penting juga tetapi bagaimana pendidikan, kesehatan, mental mereka. Jadi perencanaan itu harus utuh jangan parsial-parsial lagi,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Kornelius Simanjuntak mengatakan pihaknya siap untuk mengelola asuransi bencana alam itu. Pemerintah dan DPR, tambahnya, harus segera membentuk undang-undang bencana yang didalamnya juga mengatur tentang asuransi bencana alam tersebut.
Asuransi bencana alam ini sudah diterapkan di sejumlah negara seperti Turki, Jepang, Kanada dan Selandia Baru.