Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami situasi darurat penanganan kasus COVID 19. Penambahan pasien sangat tinggi, jumlah kematian meningkat drastis, dan angka keterisian tempat tidur atau bed occupancy ratio (BOR) yang melebihi 90 persen.
Kondisi ini mendorong Muhammadiyah COVID Command Center (MCCC) Yogyakarta mendesak Gubernur Sri Sultan Hamengkubuwono X mengambil tindakan radikal. Arif Jamali Muis dari MCCC Yogyakarta hari Senin (28/6) mengatakan, langkah ini penting agar situasi tidak semakin memburuk.
“Kami memohon kebijaksanaan dan kewelasasihan Bapak Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk mengambil tindakan yang radikal, mendasar, komprehensif, dan menyeluruh, sebagai rem darurat, agar situasi DIY tidak bertambah buruk,” ujar Arif Jamali.
Your browser doesn’t support HTML5
Kepala Bagian Humas Pemda DIY, Ditya Nanaryo Aji menyebut penambahan kasus pada Senin (28/6) mencapai 859. Jumlah ini kembali menjadi rekor kasus harian tertinggi sejak awal pandemi di DIY, dan membuat daerah ini mencatat total 58.717 kasus.
“Penambahan kasus meninggal sebanyak 32 kasus, sehingga total kasus meninggal menjadi 1.511 kasus,” kata Ditya.
Jumlah 32 kematian dalam sehari juga merupakan rekor tertinggi selama pandemi.
Saat ini Yogyakarta mencatatkan 9.414 kasus aktif atau 16,02 persen, jauh dari persentase kasus aktif nasional yang 10,22 persen dan angka global 6,5 persen. Sementara angka positif mencapai 30,7 persen yang juga sangat tinggi. Sebagai contoh, 859 kasus positif pada Senin (28/6), diperoleh dari pemeriksaan PCR terhadap 2.798 orang saja.
Dari seluruh tempat tidur yang disediakan khusus untuk pasien COVID-19 di 27 rumah sakit rujukan, pada Senin terisi 91,05 persen.
Desakan Berbagai Pihak
Arif Jamali mengatakan, Yogyakarta perlu melakukan pembatasan sosial berskala daerah yang lebih ketat, tanpa meributkan istilah yang dipakai.
“Kami tidak mempersoalkan nama, mau PSBB mau apapun atau lockdown sekalipun namanya, yang jelas adalah pembatasan sosial berkala DIY, yang lebih ketat untuk menekan penularan potensi COVID 19 ini,” tambahnya.
Teknis yang bisa diambil ada beberapa macam. MCCC Yogyakarta mengusulkan upaya menekan mobilitas pekerja dengan memaksimalkan skema kerja dari rumah. Skema itu terutama bagi aparatur sipil negara (ASN) dan pekerja formal, kecuali pada bidang yang dikecualikan setidaknya selama dua pekan ke depan.
Gubernur juga diminta menghentikan dan menutup semua kegiatan yang potensial menimbulkan kerumunan tanpa terkecuali. Termasuk pariwisata, sekolah tatap muka, kegiatan sosial dan ritual keagamaan. Sri Sultan juga didesak meningkatkan transparansi, soliditas dan akuntabilitas data penanganan COVID -19 di DIY, untuk membangun kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap penanganan kasus ini. Komunikasi risiko kepada masyarakat yang tepat dan kuat juga harus dibangun, dan membangun solidaritas dan modal sosial masyarakat di sisi yang lain.
Desakan serupa juga disampaikan Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) DIY, yang disampaikan koordinator umum, M Taufiq AR. Selain poin-poin yang disampaikan MCCC, FPRB DIY juga meminta gubernur memberikan jaminan bagi relawan dan pekerja medis dalam bentuk pemenuhan hak-hak secara tepat waktu.
“Gubernur juga harus menjamin ketersediaan kebutuhan respons medis berupa APD (Alat Pelindung Diri) sesuai standar, farmasi atau obat-obatan, termasuk kebutuhan oksigen medis yang beberapa waktu belakangan ini kebutuhannya meningkat drastis dan sempat langka,” kata Taufiq dalam pernyataannya, Senin (28/6) di Yogyakarta.
BACA JUGA: Tim Mitigasi IDI Dorong Pemerintah Berlakukan PSBB KetatSelain itu, forum ini juga mendesak pemerintah pusat agar segera mencairkan klaim dari rumah sakit-rumah sakit atas penanganan medis yang sudah dilakukan terkait COVID-19, baik pada tahun 2020 maupun tahun ini.
“Sumber daya berupa cash flow dibutuhkan rumah sakit yang ditunjuk sebagai rumah sakit rujukan untuk pelayanan lebih lanjut,” ujar Taufiq memberi alasan.
Layanan RS Terganggu
Rumah Sakit Panti Rapih, salah satu rumah sakit rujukan di Yogyakarta terpaksa menutup layanan Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada Sabtu (26/6). Direktur Utama RS Panti Rapih, drg.Vincentius Triputro Nugroho, M.Kes mengakui, ada peningkatan kedatangan pasien yang luar biasa.
“Dalam seminggu ini terjadi peningkatan yang sangat tinggi terkait kunjungan, baik di IGD maupun poli yang terkait mereka yang punya gejala. Peningkatan itu kalau bulan lalu sekitar 20 pasien per hari, hari ini menjadi 70 orang per hari,” kata Triputro dalam perbincangan bersama media di Yogyakarta, Senin (28/6).
Layanan IGD Panti Rapih kembali dibuka pada hari Minggu, setelah tenaga kesehatan mampu mengatasi lonjakan itu. Triputro menekankan, penutupan IGD tidak bermakna penolakan bagi pasien. Langkah itu diambil karena dokter dan perawat harus menangani pasien yang sudah ada di dalam ruangan IGD. Tri Putro mengaku, pada Sabtu belasan pasien mengantri layanan. Komitmen untuk menjaga kualitas layanan dan menjamin keamanan tenaga kesehatan memaksa mereka mengambil langkah penutupan.
Your browser doesn’t support HTML5
Triputro memilih istilah buka tutup layanan sebagai strategi menghadapi lonjakan pasien. Antrian di IGD harus diselesaikan untuk dilanjutkan ke ruang rawat inap.
“Kondisinya memang sangat, sangat meningkat. Saya rasa itu juga dialami teman-teman di rumah sakit lain,” ujarnya.
Kondisi Dinilai Fluktuatif
Yuli Kusumastuti dari Dinas Kesehatan DIY mengakui, BOR di daerah ini semakin lama semakin tinggi. Namun dia menegaskan angka tersebut fluktuatif mengikuti situasi di lapangan.
“Memang ini tidak stagnan, karena para direktur rumah sakit ini terus berupaya menambah bed-nya semampu mungkin,” ujar Yuli.
Rumah sakit saat ini memang menerima beban ganda, kata Yuli, karena harus melayani pasien COVID 19 dan di sisi lain tidak bisa menolak menerima pasien terutama dalam kegawatdaruratan akibat penyakit non-COVID. Padahal belakangan ini, di Yogyakarta sejumlah tenaga kesehatan juga ikut terpapar, sehingga mengurangi kemampuan rumah sakit memberikan layanan. Meski begitu Yuli meyakini, rumah sakit akan melakukan langkah yang diperlukan, sehingga penutupan layanan seperti IGD tidak berlarut-larut.
“Situasi di rumah sakit itu berkembang, demikian juga terkait ketersediaan tempat tidur. Karena teman-teman di rumah sakit tidak berdiam diri, melihat situasi saat ini,” tambahnya. [ns/ab]