Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengungkapkan, berdasarkan hasil studi uji klinik fase 1 vaksin Nusantara, sebanyak 20 dari 28 relawan penerima vaksin atau 71,4 persen di antara mereka mengalami kejadian yang tidak diinginkan (KTD) grade 1 dan 2.
Kepala BPOM Penny Lukito dalam keterangan tertulisnya mengatakan seluruh relawan yang mengalami KTD berada pada kelompok penerima vaksin dengan kadar adjuvant 250 mikrogram (mcg) dan tanpa adjuvant.
“Kejadian yang tidak diinginkan (KTD) yang terjadi adalah nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal,” ungkap Penny.
Lanjutnya, KTD grade 3, juga terjadi pada enam relawan dengan rincian seorang mengalami hipernatremi, dua orang mengalami peningkatan kadar blood urea nitrogen (BUN) dan tiga lainnya mengalami peningkatan kolesterol.
“Kejadian yang tidak diinginkan grade 3 merupakan salah satu pada kriteria penghentian pelaksanaan uji klinik yang tercantum pada protokol uji klinik, namun berdasarkan informasi tim peneliti saat inspeksi yang dilakukan Badan POM, tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinik dan analisis yang dilakukan oleh tim peneliti terkait kejadian tersebut,” jelasnya.
Pembuatan Vaksin Nusantara Dinilai Tidak Steril
Penny menjelaskan, proses produksi vaksin Nusantara tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ia mengatakan, penjaminan mutu dan keamanannya lemah.
Hal tersebut terlihat dari hasil inspeksi BPOM pada 12-13 Maret 2021 ke pusat uji klinik RSUP Dr. Kariadi dan laboratorium pemeriksaan imunogenisitas Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan. Vaksin dendritik ini tidak dibuat dalam kondisi yang steril, dan tidak memenuhi standar proses produksi yang benar.
“Pembuatan vaksin (katanya dibuat) secara close system, tetapi pada kenyataannya setelah diminta menjelaskan proses pembuatannya semua dilakukan secara manual dan open system. Jika proses pengolahan dilakukan secara close system, maka mulai darah dikeluarkan dari tubuh manusia sampai dimasukkan kembali tidak pernah ada proses pembukaan tabung darah dan pengambilan darah keluar dari tabung,” kata Penny.
Ditambahkannya, produk antigen SARS CoV-2 yang digunakan sebagai bahan utama pembuatan vaksin dendritik ini tidak memenuhi standar farmasi, dan dinyatakan oleh produsennya, Lake Pharma-USA, tidak terjamin sterilitasnya. Antigen tersebut, ujar Penny, penggunaannya hanya untuk riset di laboratorium bukan untuk diberikan kepada manusia.
Penelitian Dilakukan Oleh Peneliti Asing
Dalam keterangan tertulis ini, Penny juga mengatakan bahwa hal-hal yang menjadi perhatian utama BPOM adalah semua komponen utama pembuatan vaksin dendritik ini diimpor dari Amerika Serikat.
Selain itu, pelaksanaan uji klinik ini dilakukan oleh para peneliti dari AIVITA Biomedica Inc.USA, sehingga para peneliti Indonesia tidak menguasai prosedurnya.
“Semua pertanyaan dijawab oleh peneliti dari AIVITA Biomedica Inc, USA, dimana dalam protokol tidak tercantum nama peneliti tersebut. Peneliti utama: Dr. Djoko (RSPAD Gatot Subroto) dan dr. Karyana (Balitbangkes) tidak dapat menjawab proses-proses yang berjalan karena tidak mengikuti jalannya penelitian,” kata Penny.
Dengan berbagai hasil temuan pada uji klinik fase 1 vaksin Nusantara ini, BPOM merekomendasikan penelitian tersebut dikembangkan terlebih dahulu pada tahapan uji praklinik sebelum masuk ke uji klinik untuk mendapatkan basic concept yang jelas.
“Sehingga pada uji klinik di manusia bukan merupakan percobaan yang belum pasti. Kegiatan penelitian praklinik sebaiknya dilakukan pendampingan oleh Kemenristek/BRIN, Hal ini sesuai dengan hasil kesepakatan pada RDP-DPR tanggal 10 Maret 2021,” tegas Penny.
Uji Klinis Vaksin Nusantara Dilanjutkan Tanpa Persetujuan BPOM
Uji klinis fase II Vaksin Nusantara tetap dilanjutkan meskipun BPOM belum mengeluarkan izin atau Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinis (PPUK). Penelitian tersebut dilanjutkan di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.
BACA JUGA: Indonesia Pesan 20 Juta Vaksin COVID-19 untuk Program Vaksinasi MandiriSejumlah anggota Komisi IX DPR RI dan tokoh lainnya seperti Aburizal Bakrie hingga mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Gatot Nurmantyo diketahui bersedia menjadi relawan untuk uji klinis fase II vaksin yang digagas oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto ini. Relawan tersebut diambil sampel darahnya pada Rabu (14/4) dan akan kembali delapan hari kemudian untuk disuntik vaksin yang berasal dari sel darah putih masing-masing.
Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Letnan Jenderal Albertus Budi Sulistya membenarkan bahwa sejumlah relawan telah diambil sampel darahnya untuk dijadikan penelitian uji klinis vaksin nusantara.
“Ya ini namanya uji klinis, tapi tentang fase (berapa) dan sebagainya itu bukan domain kami (untuk menjawab),” ungkapnya ketikan dihubungi VOA.
Budi membeberkan alasan pihak RSPAD Gatot Soebroto bersedia menjadi tempat uji klinis fase 2 meskipun belum mendapatkan izin dari BPOM. Penelitian berbasis sel dendrintik yang merupakan bagian dari terapi pengobatan sel, kata Budi, bukanlah hal yang baru bagi RSPAD. Layanan tersebut sudah ada sejak 2014.
“Kami berani untuk menerima, menjadi tempat penelitian karena kita sudah punya laboratoriumnya. Laboratorium kami ini kan bench mark dari Jerman, dan sudah operasional dari 2014,” jelasnya.
Ia pun menekankan sebuah penelitian vaksin harus memenuhi syarat yang berlaku dan memenuhi kaidah ilmiah. Berdasarkan data-data yang diberikan oleh tim peneliti, pihaknya menganggap bahwa semua persyaratan sudah terpenuhi.
“Kami prinsipnya mendukung penuh pengembangan penelitian, tapi pengembangan penelitian harus memenuhi syarat. Apalagi sekarang era dimana vaksin terbatas, negara punya uang belum tentu bisa beli vaksin, karena vaksinnya terbatas, nah ini memang perlu untuk menyegerakan penelitian. Tapi penelitian harus memenuhi kaidah ilmiah,” kata Budi.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Melki Laka Lena membenarkan dirinya menjadi salah satu relawan yang diambil sampel darahnya untuk dijadikan penelitian vaksin Nusantara.
BACA JUGA: Jokowi: Pengembangan Vaksin Merah-Putih dan Nusantara Harus Penuhi Kaidah SainsKetika ditanyakan, mengapa dirinya bersedia padahal BPOM belum memberikan izin uji klinik tahap 2, Melky mengklaim bahwa sebenarnya BPOM sendiri telah menyetujui kelanjutan daripada penelitian vaksin Nusantara. Dari berbagai rapat yang dilakukan di DPR RI, dan juga di RS Kariadi, Semarang, diperoleh hasil uji klinik fase 1 menunjukkan potensi produk vaksin yang baik dan tidak ada hal yang membahayakan.
“Karena dia sendiri sudah setuju kok di rapat komisi IX itu, BPOM nya sudah setuju, kan sudah ada dalam kesimpulan rapat itu. Jadi BPOMnya setuju dia sendiri yang ingkari. Peneliti kan sudah perbaiki semua, dan sudah berkali-kali. Dan saya katakan lagi tidak ada alasan apapun kok, ini baru uji klinis, belum diedarkan ke masyarakat,” jelasnya kepada VOA.
Menurut Melky, setelah uji klinik fase 1 selesai, banyak dukungan berdatangan. Ia mengatakan ada beberapa tokoh yang juga bersedia menjadi relawan dalam proses penelitian vaksin nusantara ini, seperti Wakil Ketua DPR RI Sufi Dasco Ahmad. Bahkan Ketua MPR Bambang Soesatyo disebutnya bersedia juga menjadi relawan.
“Jadi orang ini melihat karena penelitiannya bagus, setelah mencermati berbagai data orang juga mau ikut. Setelah uji klinis fase 1 dukungan dari mana-mana muncul. Vaksin yang potensial ini jangan sampai berhenti, harus terus maju,” paparnya.
Terkait, keberlanjutan uji klinis ini, Penny menegaskan bahwa pihaknya tidak terlibat dengan kelanjutan penelitian yang dilakukan di RSPAD Gatot Soebroto. Menurutnya, pihak BPOM sudah memberikan penilaian pada uji klinik fase 1 dan menunggu perbaikan dari peneliti vaksin Nusantara.
BACA JUGA: Penelitian Vaksin Nusantara Dihentikan Sementara“Apa yang sekarang terjadi itu di luar Badan POM, bukan (kapasitas) kami untuk menilai itu. Badan POM melakukan pendampingan pada saat uji klinik sesuai dengan standar-standar, good clinical trial yang berlaku internasional, berlaku umum, dan itu tidak ada pengecualian diterapkan untuk seluruh pengembangan vaksin yang ada di Indonesia. Jadi kami tidak terlibat di dalamnya,” ungkap Penny dalam telekonferensi pers, Jumat (16/4).
Ia pun menekankan, sebuah penelitian vaksin memang harus bertahap dan sesuai dengan kaidah keilmuan yang berlaku, tidak bisa kemudian langsung menjadi berhasil. Maka dari itu, seharusnya seorang peneliti harus bersedia melakukan perbaikan dari koreksi yang diberikan oleh BPOM.
“Jawaban kami adalah sebagaimana hasil penilaian Badan POM terkait fase pertama dari uji klinik dari vaksin dendritik atau vaksin nusantara ini, adalah belum bisa dilanjutkan ke fase kedua, udah clear kan itu? Karena ada temuan-temuan, ada koreksi-koreksi yang diberikan oleh Badan POM, jadi harus ada perbaikan dulu, kalau ingin maju ke fase kedua,” tegas Penny. [gi/ab]