Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua tahun ini mencapai 5,44 persen secara tahunan (year on year/yoy).
“Dengan demikian pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan kedua tahun 2022 bila dibandingkan dengan triwulan pertama 2022 atau secara quarter to quarter tumbuh 3,72 persen. Triwulan-II tahun 2022 atau secara year on year tumbuh sebesar 5,44 persen,” ungkap Kepala BPS Margo Yuwono, dalam tekekonferensi pers di Jakarta, Jumat (5/8).
Ia menjelaskan nilai produk domestik bruto (PDB) pada triwulan kedua tahun 2022 atas dasar harga berlaku mencapai Rp4.919,9 triliun sementara atas dasar harga konstan sebesar Rp2.923,7 triliun.
Ekonomi Terdongkrak Booming Komoditas
Meskipun beberapa negara lain saat ini mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi, perekonomian Indonesia terpantau masih bisa tumbuh. Margo menjelaskan, perekonomian di kuartal kedua ini terdorong faktor musiman seperti booming harga komoditas di pasar global. Sehingga, walaupun perekonomian mitra dagang strategis Indonesia seperti China dan Amerika Serikat melambat, Indonesia masih bisa mendapatkan keuntungan yang cukup baik.
“Dengan kenaikan harga global dan mitra dagang masih tumbuh positif di kuartal kedua, Indonesia mendapatkan windfall dari kondisi itu, dan tercatat neraca perdagangan kita di kuartal kedua ini sebesar USD15,55 miliar ini meningkat sebesar 148,01 persen kalau saya bandingkan dengan Q2 atau secara yoy. Kalau kita bandingkan dengan kuartal pertama tahun 2022, meningkat 67,85 persen,” jelas Margo.
Sentimen positif juga datang dari dalam negeri. Menurutnya, seiring dengan membaiknya penanganan pandemi COVID-19, mobilitas penduduk semakin tinggi. Selain itu, daya beli masyarakat masih terjaga dan didorong oleh akselerasi konsumsi dan juga aktivitas produksi.
Margo menambahkan, kedatangan wisatawan mancanegara melalui pintu utama juga melonjak 1.250,65 persen (yoy), dan tingkat hunian kamar tumbuh 9,74 persen.
Laju perekonomian Indonesia yang positif, katanya, juga disebabkan oleh langkah pemerintah dan Bank Indonesia (BI) yang menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat, yakni dengan tetap memberikan subsidi energi dan bantuan sosial.
“Dari BI, selama kuartal kedua tidak menaikkan suku bunga acuan yang juga memberikan dampak kondusif bagi pelaku usaha, dan juga pemerintah masih memberikan kebijakan pemberian insentif pajak dalam rangka mendorong aktivitas dunia usaha yang tertuang dalam PMK no 3 tahun 2022. Jadi pemerintah dan BI merespon kondisi global dengan berbagai kebijakan, baik dari segi fiskal maupun moneter,” jelasnya.
Tidak Bergantung Terhadap Dampak Musiman
Pengamat Ekonomi Celios Bhima Yudhistira menjelaskan, pergerakan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua tahun ini tidak lepas dari naiknya konsumsi rumah tangga sebesar 5,5 persen terhadap PDB. Kenaikan konsumsi rumah tangga ini terjadi pada saat lebaran dan mudik.
Selain itu, kata Bhima, Indonesia juga masih diuntungkan dengan booming harga komoditas seperti batu bara, nikel dan juga komoditas perkebunan yang tentunya mendorong pendapatan masyarakat di luar Pulau Jawa.
Laju inflasi yang masih moderat juga diakibatkan dari kebijakan pemerintah yang masih menahan harga BBM, subsidi gas elpiji tiga kilogram, untuk golongan masyarakat rentan miskin dan miskin sehingga bisa mempertahankan daya belin mereka. Namun, Bhima memperingatkan pemerintah agar jangan sampai terlena. Pasalnya tantangan di semester mendatang akan semakin berat.
“Misalnya sebelumnya belum ada dampak inflasi, yang terlalu berat, tapi sekarang beberapa pelaku usaha mulai melakukan penyesuaian harga karena harga di tingkat bahan baku, mesin, barang setengah jadi, semuanya naik. Kemudian ada risiko geopolitik , bukan hanya Rusia-Ukraina, tapi yang terbaru adalah China-Taiwan. Ini akan berdampak pada rantai pasokan dan melemahkan investasi karena secara geografis dan perdagangan Indonesia dengan Tiongkok porsinya besar,” ungkap Bhima kepada VOA.
Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi pada tahun ini, kata Bima, pemerintah harus mengambil langkah mitigasi, termasuk menjaga inflasi agar tetap stabil dengan mencukupi persediaan pangan agar harga bisa stabil.
Perlindungan sosial berupa bansos harus tetap diberikan. Yang terpenting, menurutnya, adalah mendorong industrialisasi, sehingga Indonesia tidak terjebak pada booming harga komoditas yang hanya bersifat temporer, dan menahan harga energi yang terus mengalami peningkatan di level konsumen.
“Nanti di kuartal ketiga tidak ada momentum seasonal seperti lebaran lagi. Jadi pendorong konsumsinya relatif rendah. Jadi ini akan tergantung dari belanja pemerintah, terutama poinnya adalah pemerintah daerah, kalau pemerintah daerah masih lambat mencairkan anggaran, kemudian masih ada sekitar Rp200 triliun dana mengendap di perbankan, itu akan susah menggerakkan konsumsi masyarakat,” pungkasnya. [gi/ab]