Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto mengatakan ekspor Indonesia pada Januari 2022 mengalami penurunan dibandingkan Desember 2021, namun lebih tinggi jika dibandingkan Januari 2021. Rinciannya non-migas sebesar USD 18,26 miliar dan migas sebesar USD 0,9 miliar.
Komoditas yang mengalami penurunan terbesar yaitu bahan bakar mineral, sedangkan yang mengalami peningkatan yaitu biji logam, terak, dan abu.
"Kalau kita secara bulanan, ekspor kita turun dari USD 22,36 miliar menjadi USD 19,16 miliar atau turun 14,29 persen," jelas Setianto dalam konferensi pers daring, Selasa (15/2/2022).
Setianto menambahkan ekspor nonmigas Januari 2022 terbesar adalah ke China senilai USD 3,51 miliar, disusul Amerika Serikat USD 2,56 miliar, dan Jepang USD 1,51 miliar. Sementara ekspor ke ASEAN dan Uni Eropa masing-masing sebesar USD 3,34 miliar dan USD 1,7 miliar.
Sementara provinsi asal barang terbesar berasal dari Jawa Barat dengan nilai USD 3,11 miliar (16,21 persen), diikuti Jawa Timur USD 1,88 miliar (9,81 persen), dan Riau USD 1,73 miliar (9,05 persen).
"Impor Januari 2022 secara bulanan mengalami penurunan 14,62 persen. Atau pada Desember 2021 sebesar USD 21,35 miliar menjadi USD 18,23 miliar," tambahnya.
Komoditas impor yang mengalami penurunan yaitu produk farmasi, sedangkan yang mengalami peningkatan adalah serealia. Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari 2022 adalah China USD 5,85 miliar (36,55 persen), Jepang USD 1,39 miliar (8,67 persen), dan Thailand USD 0,93 miliar (5,84 persen).
INDEF : Kenaikan Impor Dapat Picu Defisit
Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menyoroti kenaikan persentase impor yang lebih tinggi dibandingkan ekspor secara tahunan. Adapun persentase ekspor Januari 2022 naik sebesar 25,31 persen, sedangkan persentase impor naik 36,77 persen dibandingkan Januari 2021. Menurutnya, kondisi ini dapat mendorong defisit neraca perdagangan jika dibiarkan terus pemerintah.
"Secara umum performa ekspor kita belum banyak mengalami perubahan strukturnya. Dan tadi peningkatan impornya lebih besar secara tahunan. Ini yang perlu diperhatikan supaya ekspornya lebih besar dari impor," jelas Heri kepada VOA, Selasa (15/2/2022).
Heri menambahkan pemerintah bisa menggenjot kembali ekspor nonmigas dengan membuka pasar di negara-negara tujuan yang baru. Kata dia, pemerintah juga perlu mencari pasar baru untuk produk-produk dengan nilai tambah seperti nikel yang sedang digarap pemerintah.
Namun, ia mengingatkan pemerintah agar tetap mengantisipasi dampak gugatan yang diajukan Uni Erpa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait kebijakan larangan ekspor bijih nikel. [sm/em]