“Be kind to yourself” atau “berbaik hati lah pada diri sendiri” ketika menghadapi hal-hal di luar rencana. Itulah pesan penting yang disampaikan dua perempuan luar biasa yang hingga hari ini masih berjuang melawan kanker payudara. Di penghujung Bulan Peduli Kanker Payudara ini, keduanya juga mengingatkan pentingnya periksa dini dan mensyukuri setiap pencapaian, sekecil apapun itu.
VOA - “Be kind to yourself. Karena ini tidak mudah. Jangan mencari-cari kenapa ini terjadi pada saya. Move forward. Take one day at a time. Ini bukan sesuatu yang mudah, tetapi tidak akan membantu juga jika kita terus menyalahkan diri sendiri,” kata Ima.
“Jangan putus berobat. Ikuti nasihat dokter. Tanya. Jika ada apa-apa, tanya, jangan ragu. Percaya pada insting kita,” pesan Nadia.
Inilah Rahimah Abdulrahim (Ima), aktivis, feminis Muslim, yang sempat menduduki posisi terkemuka sebagai Direktur Kebijakan Publik Untuk Asia Tenggara Bagi Facebook Asia-Pasifik, dan kini bermukim di Singapura. Dan drh. Nadia Fibria Warastri, dokter hewan dan salah satu pemilik klinik Animalova di Yogyakarta.
Ima: Saya Memilih Melawan Kanker dan Menghadirkan Yang Bisa Menyenangkan
Rahimah, atau biasa disapa Ima, mengatakan tidak pernah menyangka akan terkena kanker payudara karena selalu mengikuti pola hidup sehat dan rajin memeriksa diri sendiri, termasuk melakukan mammogram.
“Hanya saat COVID-19 saja saya tidak melakukannya karena ada berbagai kebijakan pembatasan, termasuk pembatasan untuk berobat ke rumah sakit. Di situ saya missed (terlewat.red)!,” kata Ima membuka pembicaraan.
“Saya tanyakan juga pada dokter ketika mereka memberitahu bahwa saya kini mengalami kanker payudara stadium dua. Saya bilang bagaimana mungkin? Saya selalu periksa, paling tidak memeriksa diri sendiri. Dokter menunjukkan bahwa bagian di mana sel kanker berada sangat dalam, sehingga sulit diketahui dengan pemeriksaan diri biasa.”
Your browser doesn’t support HTML5
Ia sempat terkejut. Menangis. “Waktu pertama didiagnosa itu ada dua pilihan – mau bersedih-sedih dan meraung-raung “why me, why me” atau the other way around, sudah dihadirkan penyakit ini dalam hidupku, yuk lawan. Saya memilih yuk lawan! Saya memilih untuk tidak bersedih dan menghadirkan apa yang dapat membuat saya senang. Jadi waktu hari pertama kemoterapi, saya beli baju baru, beli bantal baru. Saya membahagiakan diri sendiri,” ujar Ima penuh semangat.
Meniru Lupita Nyong’o, PascaKemoterapi Ima Hias Kepala dengan Hiena Indah
Tak sampai di situ, setiap kali menjalani proses pengobatan, dengan penurunan dan pencapaian kesehatan sekecil apapun, Ima merayakannya. Ia menuliskannya dengan rapi di akun sosial medianya. Termasuk ketika seluruh rambut di kepalanya rontok.
“Saya mencoba mencari something to look forward to. Sehari sebelum saya didiagnosa, pada 21 Mei, saya scrolling Instagram dan melihat akun Lupita Nyong’o – aktris Hollywood yang sangat saya kagumi – sedang menghadiri suatu upacara pernikahan di Pakistan dan ia men-tato kepalanya. Saya sempat bilang ‘oh my God she is so beautiful.’ Lalu saya bilang ke teman baik saya, kalau saya ingin ditato seperti ini jika nanti rambut saya rontok karena kemoterapi,” papar Ima.
Berbekal foto tato Lupita Nyong’o itu, Ima dan teman baik Ima hunting toko hiena di Singapura. “Saat saya benar-benar gundul, saya datangi dan minta di-hiena seperti Lupita. Yang melakukannya bersimpati sekali, sampai-sampai ia tidak memungut bayaran. Dia bilang, saya tidak akan pernah memungut bayaran dari pasien kanker seperti Anda,” ujar Ima yang kemudian memasang foto hiena yang sangat indah di kepalanya di akun media sosialnya. Pujian dan dukungan pun datang dari berbagai penjuru.
Nadia Merayakan Kesembuhan Tangan dengan Beli Piano
Lain lagi dengan Nadia. Dokter hewan yang memiliki klinik Animalova di Yogyakarta ini baru memeriksakan diri ke dokter setelah merasa mudah lelah dan marah, serta rasa sakit yang tidak biasa di tangan kanannya. Dokter mendiagnosanya dengan kanker payudara stadium empat. Ia juga sempat shock.
“Sebagai orang medis saya tahu benar bagaimana nantinya. Jadi saya hanya berpikir, kalau saya dikasih deadline sama Allah SWT, ya saya maksimalkan saja hidup saya sampai gak bisa apa-apa,” ujarnya.
Nadia, yang berusia 46 tahun, mengatakan “saya coba merayakan hal-hal sederhana yang sebelumnya mungkin dianggap biasa. Misalnya kemarin-kemarin tangan kanan saya tidak bisa diangkat, sakit sekali. Tidak bisa nyetir, tidak bisa apa-apa. Tapi begitu membaik, saya beli piano. Saya main piano semangat sekali. Meskipun setelah itu tangannya sakit lagi. Hehehehe..”
Merayakan Hal Kecil Sangat Penting dalam Proses Penyembuhan
Ima dan Nadia sama-sama mengakui betapa pentingnya merayakan pencapaian apapun dalam proses penyembuhan kanker ini.
“Sangat penting Mbak,” ujar Nadia seraya menambahkan “karena sejak kita menjalani kemoterapi, sejak hari pertama, kita sudah seperti punya tubuh tapi tidak lagi bisa mengendalikannya. Mungkin orang lihat saya bisa bisa tersenyum, tertawa… padahal jika mereka merasakannya (kemoterapi.red) atau melihat hasil uji darah setiap dua minggu yang tidak pernah baik, kadang sel darah putih turun, kadang dua-duanya – sel darah merah dan putih – turun sehingga harus siap ditransfusi.”
Sementara Ima merayakan hal-hal sederhana seperti bisa tidur siang dengan nyenyak, atau merasakan rambutnya tumbuh kembali, hingga saat dinyatakan tidak ditemukan lagi sel-sel kanker, yang disebutnya sebagai “remisi.”
Dukungan Keluarga
Ima dan Nadia juga merasa dukungan keluarga dan teman, termasuk orang-orang yang mungkin belum pernah mereka kenal dan memberikan semangat lewat media sosial, berdampak besar dalam proses penyembuhan mereka.
“Terutama Mami saya! Mami khan dulu juga pernah kena kanker ovarium stadium empat. Ketika didiagnosa ia sudah berumur 74 tahun. Tapi saya ingat banget ketika Mami dikasih tahu dokter, terus dia bilang ‘OK dok, terus gimana ngelawannya? Harus gimana dong kita?’ Ini mami lho yang sudah lanjut usia dan kena kanker stadium empat, tapi tetap semangat. Saya pernah menjadi caregiver ibu saya dan melihat kehebatannya melawan penyakit itu. Jadi ketika saya terkena juga, saya juga jadi semangat melawan. Masa’ mami saya saja bisa, kok saya ngalah?,” kata Ima.
Nadia juga berpandangan sama, meskipun ia buru-buru menambahkan untuk senantiasa “mendengar” insting diri sendiri. “Saya setuju keluarga dan teman menjadi penyemangat utama, tetapi saya lebih memilih bilang ke diri sendiri bahwa saya bisa sembuh, saya harus bisa menjalani kehidupan ini,” ujarnya.
Ia merujuk pada saran keluarga dan teman yang seringkali bertolakbelakang dengan pengobatan yang sedang dijalaninya. “Ada yang datang dan mendorong untuk menjalani pengobatan alternatif saja. Gak usah kemo, gak usah terapi. Ada juga yang minta saya berdoa saja karena yakin ini bukan kanker. Ada yang memberi informasi dokter-dokter canggih di luar negeri. Malah jadi membingungkan,” sebutnya.
Nadia, anak ketiga dan satu-satunya anak perempuan yang sejak remaja merawat kedua orang tuanya, merasa ibundanya adalah belahan jiwa yang membakar api semangatnya.
“Keluarga mendukung banget saya, tapi yang paling kebetulan adalah saya masih punya ibu. Beliau sudah sepuh. Setelah Bapak tidak ada lagi, Ibu jadi semangat saya…. Kalau bisa saya tidak mati sekarang. Saya masih ingin menjaga ibu saya, supaya ia tetap happy.”
Sehari setelah diwawancarai VOA minggu lalu, ibunda Nadia yang sudah berusia 77 tahun terjatuh saat bangun tengah malam. Kepalanya terluka dan tangan kirinya patah. Nadia menulis di akun Facebook-nya “kejadian itu bikin malam ini susah mau merem, bawaannya takut kalau kejadian terulang lagi.”
UN Women Dorong Perempuan Akses Mammogram
Badan Kesehatan Dunia WHO mengatakan kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling umum terjadi seluruh dunia, dengan sekitar 2,3 juta kasus baru setiap tahun. Bahkan 30 persen dari seluruh kasus kanker baru di Amerika adalah kanker payudara. Keterbatasan akses pada layanan kesehatan dan rendahnya tingkat kesadaran dan pengetahuan menjadi faktor utama yang membuat seringkali perempuan didiagnosa pada stadium lanjut yang berakibat fatal.
Oleh karena itu WHO pada tahun 2021 meluncurkan Inisiatif Kanker Payudara Global (GBCI) pada tahun 2021 untuk menurunkan angka kematian sebesar 2,5 persen per tahun selambat-lambatnya tahun 2040 guna menyelamatkan 2,5 juta jiwa. Hal ini dilakukan dengan menggalakkan kampanye pentingnya deteksi dini, diagnosis tepat waktu dan manajemen kanker payudara komprehensif. Semua pemangku kepentingan juga didorong mengkaji ulang kemajuan yang dicapai dalam upaya melawan kanker payudara dan membangun momentum untuk mengatasi kesenjangan dan tantangan yang dihadapi perempuan dalam mengakses layanan kesehatan.
Mammogram adalah salah satu yang diserukan oleh UN Women kepada setiap perempuan. Namun harus diakui tidak semua perempuan memiliki akses layanan kesehatan yang mencakup pemeriksaan dengan mammogram.
Ima dan Nadia mengatakan jika tidak memiliki akses tersebut, setiap perempuan dapat melakukan pemeriksaan diri sendiri. “Yang paling sederhana itu memeriksa diri sendiri saat sedang mandi, atau sedang tidur. Bisa dipelajari lewat internet, Google, atau tanya pada dokter kalau pas sedang periksa kesehatan. Jangan mudah putus asa!,” ujar Ima.
Sementara Nadia menilai “jujur pada diri sendiri, jika ada yang dirasa tidak biasa, tangan terasa berat tapi bukan karena terkilir, atau seperti saya dulu mendadak mudah lelah atau cepat marah, segera deh ke dokter.”
Be Kind to Yourself
Di akhir wawancara Ima dan Nadia sama-sama mengajak kaum perempuan, terutama yang didiagnosa menderita kanker payudara, untuk “berbaik hati pada diri sendiri.”
“Kanker bukan sesuatu yang mudah tapi tidak akan membantu jika kita selalu menyalahkan diri sendiri. Selalu have something to look forward too. Sebagai orang Islam, kita mengenal nazar. Coba kita bernazar, kalau saya sembuh, saya mau melakukan ini. Hal ini membuat kita jadi semangat karena ada sesuatu yang ingin kita capai,” ujar Ima.
Sementara Nadia sebagai “orang medis,” mendorong untuk “jangan putus berobat.” “Kalau ada apa-apa tanyakan pada dokter. Kalau perlu sebelum ke dokter, catat apa-apa yang ingin kita tanyakan. Hmm mungkin karena sekarang saya jadi mudah lupa yaa, jadi saya selalu mencatat. Kadang saya malah ke dokter dengan membawa obat-obat yang saya punya, saya kasih tahu mana yang bikin enak, mana yang enggak, dan tanya mana yang harus dilanjutkan, mana yang tidak.” [em/jm]