“Anak saya mau ikut main dengan anaknya tetangga. Mau naik sepeda, mau bonceng, terus nggak boleh sama ibunya, kayak takut ketularan,” kenang Rini Yunianti akan suatu perumahan yang penghuninya sesama pegawai negeri seperti suaminya.
Sementara itu di sebuah sekolah yang memiliki kelas untuk anak berkebutuhan khusus, kata Adriana Soekandar Ginanjar, “Satu hari, aku mengantar. Kemudian anakku lari naik tangga dengan kencang, lalu menyenggol salah satu anak perempuan di situ. Anak perempuan itu melihat dengan marah, terus tangannya itu kayak diusap-usap gitu seperti kena... Aku sedihnya luar bisa. Ternyata di tempat yang kupikir anakku dipahami, responsnya masih begitu.”
Anak semata wayang Rini, Yoda, baru saja genap berusia 24 tahun, sedangkan putra sulung Adriana, Aska (Atmarazka Ginanjar), akan berusia 31 pada Oktober mendatang. Hampir sepanjang usia Yoda dan Azka pula, mereka masih menghadapi ketidakpahaman masyarakat dan banyak lagi tantangan lainnya terkait autisme yang disandang putra mereka itu.
Alih-alih memahami bahwa gangguan spektrum autisme adalah gangguan perkembangan dengan gejala antara lain kesulitan berkomunikasi dan mengekspresikan keinginan, ada yang menyangka anak bersangkutan kena guna-guna, misalnya.
Ketika menceritakan Yoda yang didiagnosis menyandang autisme sebelum berusia dua tahun, Rini mengatakan, “Orang tua saya dulu awalnya sempat memberi saran nanti begini-begini. Saya ikuti daripada nanti berdebat. Saya ikuti tapi tidak dengan hati, maksudnya biar beliau lega, (saran) sudah diikuti tetap saja (tidak ada perubahan).”
Stigma yang melekat pada penyandang autisme tak kalah banyaknya. Ketika Aska didiagnosis menyandang autisme pada usia 4 tahun, kesadaran mengenai autisme masih terbatas. Perilaku dan gerakan mereka bukan hanya menyebabkan penyandang dianggap aneh dan berkebutuhan khusus, tapi bisa juga dianggap gila. Lantas, kata Adriana, psikolog yang juga dosen di Fakultas Psikologi UI,
“Sering kali orang-orang yang lebih banyak menyendiri suka disebut ‘dasar autis’. Tentunya YAI dan orang tua dengan anak autis itu banyak sekali meminta supaya ini jangan dijadikan lelucon, jangan dijadikan candaan.”
Adapun YAI yang disebut Adriana itu adalah Yayasan Autisma Indonesia yang ia pimpin sejak Desember 2023, menggantikan dr. Melly Budhiman yang mengetuai yayasan itu sejak dibentuk pada tahun 1997. Misi utama lembaga pertama yang berkiprah dalam bidang autisme di Indonesia ini adalah meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai autisme. YAI pula yang menjadi perwakilan Indonesia dalam pembentukan ASEAN Autism Network, di mana Adriana pernah menjadi ketua bergilir selama 2 tahun.
Satu dekade kemudian, tahun 2007, PBB menetapkan Hari Peduli Autisme Sedunia setiap tanggal 2 April, dan dilanjutkan dengan April sebagai Bulan Penerimaan Autisme. Dengan peringatan ini, negara-negara anggota PBB didorong untuk mengambil tindakan dalam meningkatkan kesadaran mengenai orang dengan gangguan spektrum autisme serta mendukung penelitian untuk menemukan cara baru guna meningkatkan kesehatan mereka.
Your browser doesn’t support HTML5
Dengan berjalannya waktu, apakah perhatian pemerintah Indonesia kepada para penyandang autisme sudah memadai?
Rini, alumnus Teknik Kimia UGM yang memilih menjadi ibu rumah tangga untuk mengurus putra semata wayangnya itu, mengatakan, pemerintah masih perlu memberi perhatian lebih bagi para penyandang autisme.
Untuk terapi, misalnya, Rini menghadapi kenyataan penyelenggara terapi, pendidikan dan fasilitas lain yang kebanyakan adalah institusi swasta, yang berarti biayanya lebih mahal daripada kalau dikelola pemerintah.
Biaya ekstra yang tidak kecil juga dikeluarkan Rini untuk membiayai putranya yang sejak pandemi lalu tinggal di sekolah berasrama. Selain untuk menyesuaikan diri dengan sistem belajar jarak jauh ketika itu, Rini menjelaskan,
“Tentunya saya harus realtistis. Kami kan makin tua, secara fisik kami tidak kuat, suatu saat tidak ada juga. Secara hitungan logika, kami dululah. Kalau kami nggak ada, dia kan harus masuk asrama. Kalau nggak berlatih dari sekarang ya kapan lagi, kami mikirnya begitu sih.”
Sementara itu, Adriana bersyukur banyak hal yang memudahkannya untuk mengasuh putranya. Profesi sebagai dosen, ujarnya, memberinya antara lain kelelusaan waktu untuk menggali informasi lebih jauh mengenai autisme maupun mengurus adik perempuan Aska. Ketika putranya bersekolah, ia telah punya “tim” untuk berbagi tugas mengurusi Aska di dalam keluarganya. Kini, ketika Aska beranjak dewasa, lanjut Adriana, penanganannya tidak terlalu intensif lagi karena sang anak menolak untuk bersekolah dan tinggal di rumah saja. Adriana, yang juga mendirikan sekolah khusus untuk anak autistik, Mandiga, kini bisa semakin leluasa mengatur waktu untuk menjalani profesinya sebagai dosen dan psikolog maupun untuk berorganisasi. Ia menambahkan,
“Aku belajar dari dia (Aska), bahwa kalau kita sudah mencoba mengarahkan tapi anaknya tidak mau, sudahlah, let go. Jadi kita harus lebih rileks supaya anaknya juga tidak tegang.“
Sementara itu, Rini masih berharap awareness mengenai autisme terus ditingkatkan bukan hanya pada bulan peduli autisme saja. Sebagai orang tua, ia dan sekolah menjalankan peran menyosialisasikan mengenai autisme ke lingkungan asrama dan sekolah Yoda ke masyaakat sekitarnya. Kalau bisa, para penyandang autis itu dapat bermain atau membaur di masyarakat sekitar supaya masyarakat pun mengenal autisme, lanjutnya.
Harapan lainnya adalah pemerintah memiliki program untuk individu dewasa dengan autisme. Pasalnya, jelas Rini, banyak di antara mereka yang tidak dapat diterima menjalani terapi maupun bersekolah karena pembatasan usia, sementara keterampilan kerja belum mereka miliki.
Belum ada data jumlah pasti penyandang autisme di Indonesia. Yoda dan Aska termasuk di antara sekian banyak penyandang autisme di Indonesia yang mengalami kesulitan berkomunikasi. Namun, ada pula penyandang yang bisa menapaki pendidikan bahkan hingga lulus jenjang S2. Ada pula yang memiliki bakat seni yang tinggi, seperti komposer dan pianis terkemuka Indonesia yang telah mendunia, Ananda Sukarlan yang menyandang spektrum Asperger, serta Michael Anthony yang juga tunanetra dan pernah tampil di Opera House, Sydney, Australia.
“Kalau dilatih, diajarkan oleh guru yang oke, potensi mereka bisa keluar,” kata Adriana.
Ia juga mengingatkan, agar individu dengan autisme dapat mengembangkan potensinya, penanganan terhadap mereka tidak boleh dipaksakan untuk membuat mereka menjadi normal. Mereka justru harus lebih dipahami dan kemampuan yang mereka miliki dimaksimalkan.
Terakhir, sebagai psikolog, Adriana berharap orang tua tidak melupakan saudara kandung penyandang autisme. Ia sudah melihat begitu banyak saudara yang terlupakan orang tua yang sibuk mengurusi anak yang berkebutuhan khusus, sehingga pada usia dewasa mereka memiliki masalah seperti kecemasan, kesedihan dan stres yang tinggi.
Selain itu, orang tua jangan segan belajar dan mencari tahu mengenai kebutuhan khusus anak mereka, mencari support system dari berbagai kelompok atau perkumpulan orang tua yang sesuai dan bekerja sama dengan seluruh keluarga. Katanya,
“Kalau memungkinkan, berkorban dulu, waktu, karier, karena kita tidak bisa menyerahkan anak ke profesional tanpa kita terlibat langsung.” [uh/ab]