Direktur Utama PT Bio Farma Shadiq Akasya akhirnya angkat bicara terkait kasus PT Indofarma Global Medika (IGM) yang berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diketahui terlilit pinjol.
Bio Farma adalah induk BUMN Farmasi. IGM adalah salah satu anak perusahaan PT Indofarma Tbk (INAF), salah satu BUMN yang berada di bawah pengawasan Bio Farma.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (19/6), Shadiq mengungkapkan pinjol yang dilakukan IGM tidak diperuntukkan untuk kepentingan perusahaan. "Pinjaman melalui fintech bukan untuk kepentingan perusahaan, terindikasi (telah) merugikan IGM senilai Rp 1,26 miliar," ungkap Shadiq.
Dalam kesempatan yang sama Dirut PT Indofarma Tbk Yeliandriani membenarkan bahwa perseroan itu sempat terlilit oleh pinjol. “Ada beberapa pertanyaan tentang pinjol. Ini benar. Di dalam laporan (BPK) itu saya juga membaca bahwa bahwa ada pinjaman kepada fintech pada tahun 2022 namun itu hanya dipinjam beberapa bulan dan sudah dilunasi,” ungkapnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Bahkan Yeliandriani sempat menyatakan bahwa perusahaan itu menggunakan nama-nama karyawan untuk mendapatkan pinjol. Ia tidak mengungkapkan nama-nama karyawan itu karena laporan BPK masih tergolong laporan indikasi.
Indikasi lain yang ditemukan BPK adalah kerugian IGM terkait penempatan dan pencairan deposito beserta bunga sebesar Rp 35,07 miliar atas nama pribadi pada koperasi simpan pinjam nusantara (Kopnus), serta terkait penggadaian deposito beserta bunga sebesar Rp 38,06 miliar pada Bank Oke.
“Dan betul, yang terjadi di dalam laporan (BPK) tersebut bahwa ada deposito yang atas nama pribadi dan akhirnya dipakai untuk menjamin pinjaman orang tersebut, dan pinjaman kredit itu wanprestasi dan deposito itu dicairkan dan itu terjadi dua kali,” jelasnya.
Menurutnya, kasus-kasus yang terindikasi penipuan tersebut melibatkan lima karyawan yang memiliki kewenangan yang cukup besar. Ia menegaskan bahwa karyawan-karyawan tersebut saat ini sudah tidak bekerja di perusahaan itu. “Memang cukup banyak dan agak berani memang fraud yang terjadi di Indofarma,” jelasnya.
Meski demikian, Yeliandriani cukup optimistis perusahaan ini bisa diperbaiki dan diselamatkan. Pihaknya saat ini sedang menyusun program restrukturisasi yang didampingi oleh pihak kementerian BUMN dan konsultan.
Dari segi bisnis, pihaknya pun melakukan berbagai efisiensi, termasuk hanya memproduksi obat pesanan. “Jadi kami akan menjalankan bisnis ini dengan hanya memproduksi obat-obat yang make to order. Jadi, obat yang memang sudah dipesan orang, kami tidak membuat lagi make to stock. Di samping itu kelebihan kami adalah kami memiliki pabrik yang kapasitasnya besar, dan kami sekarang mencari mitra untuk maklon sehingga kami tidak memiliki risiko,” jelasnya.
Maklon, singkatan dari manufacturing on contract, adalah praktik di mana perusahaan atau produsen menyewa pihak lain untuk memproduksi produk mereka
Selain itu, pihaknya juga melakukan efisiensi sumber daya manusia.
“Untuk memproduksi obat tersebut, pembiayaan atau modal kerjanya kami dibantu oleh holding. Memang karena produksi itu tidak maksimal, hanya 20 persen dari utilitas kita, sehingga marginnya pun kecil yang mengakibatkan kita tidak bisa membayar gaji dengan penuh. Jadi kami membayar gaji itu bertingkat. Level yang paling bawah dibayar 90 persen tetapi level-level di atasnya,seperti direksi, hanya 50 persen,” jelasnya.
Pengamat BUMN Toto Pranoto menilai perusahaan pelat merah yang terlilit pinjol tersebut sebagai fenomena yang tragis. Menurutnya, terkait aspek keuangan, BUMN biasanya sudah memiliki standard operation procedure (SOP).
“Misalnya pinjaman-pinjaman yang sifatnya dalam kerangka untuk modal kerja, berarti itu kebutuhan untuk likuiditas yang sifatnya jangka pendek mereka bisa akses. Misalnya apakah ke saluran perbankan, atau saluran lainnya seperti pinjaman jangka panjang atau investasi berarti mereka juga bisa mengeluarkan instrumen keuangan yang cocok dengan tenor investasi jangka panjang apakah obligasi dan lain-lain,” ungkap Toto.
Selain SOP dalam aspek keuangan, perusahaan BUMN biasanya juga memiliki SOP dalam hal pengawasan operasional dan internal perusahaan secara menyeluruh. Maka dari itu, jika fenomena semacam ini terjadi, Toto mempertanyakan bagaimana mekanisme pengawasan yang ada di dalam perusahaan tersebut selama ini dan mengapa fraud semacam ini bisa lolos dari pengawasan pihak terkait.
“Ini hal yang cukup tragis karena Indofarma ini perusahaan BUMN yang sudah Tbk, artinya kalau sudah menjadi public listed company mestinya juga aspek-aspek yang terkait dengan transparansi atau disclosure itu menjadi suatu kewajiban utama. Jadi kalau kemudian perusahaan tbk saja kualitas pengawasannya seperti ini memang kemudian patut dipertanyakan, bagaimana sebenarnya mekanisme (pengawasan) ini berjalan,” jelasnya.
Menurutnya, selama ini Kementerian BUMN sudah mengeluarkan berbagai aturan dan regulasi yang cukup baik terkait pengawasan, risk management, peran dari Dewan Komisaris dan lain-lain. Maka dari itu, menurutnya yang kurang adalah aturan terkait implementasi dan kompetensi orang-orang yang menduduki jabatan untuk pengawasan internal perusahaan pelat merah tersebut.
“Apakah orang-orang yang duduk sebagai pengawas cukup punya waktu atau tidak? Apakah mereka punya kapabilitas duduk sebagai pengawas terhadap jalannya roda organisasi perusahaan milik negara ini? Sebetulnya mereka juga dibantu oleh berbagai macam supporting unit, seperti organisasi penunjang kerja mereka misalnya di dewan komisaris itu ada sebuah unit namanya komite audit, komite risiko. Pertanyaannya adalah apakah organ-organ ini diberdayakan atau tidak? Sehingga komisarisnya bisa lebih paham mengenai apa yang terjadi di dalam konteks jalannya perusahaan sehingga mereka bisa mengawasi dengan lebih efektif,” pungkas Toto. [gi/ab]