Tim Terpadu Pencari Tersangka dan Terpidana Tindak Pidana Korupsi (TPK) berhasil menangkap Sherny Kojongian di San Francisco dan memulangkannya ke tanah air.
Upaya Pemerintah Indonesia memburu terpidana kasus korupsi Sherny Kojongian akhirnya membuahkan hasil. Tim Terpadu Pencari Tersangka dan Terpidana Tindak Pidana Korupsi (TPK) berhasil menangkap Sherny Kojongian yang telah melarikan diri sejak 1999 di San Francisco, Amerika Serikat.
Tim yang yang terdiri dari wakil instansi terkait dan diketuai oleh Wakil Jaksa Agung ini, memulangkan buron Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ini ke tanah air dan direncanakan tiba di Indonesia pada 13 Juni 2012.
Keberhasilan upaya memburu Sherny Kojongian merupakan wujud nyata implementasi sinergi dan kerjasama internasional antara para penegak hukum untuk memberantas korupsi. Keberhasilan tersebut juga menunjukkan komitmen kuat Pemerintah Indonesia untuk menjamin tidak adanya kesan "safe haven" untuk para koruptor dan memastikan para terpidana korupsi mempertanggungjawabkan perbuatannya. Demikian rilis yang dikeluarkan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC (11/6).
Sherny Kojongian melarikan diri pada 2002 ketika proses persidangan kasus korupsi Bank Harapan Sentosa (BHS) berlangsung. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 18 Maret 2002 secara in absentia menjatuhkan vonis 20 tahun kepada Sherny Kojongian, bersama-sama dengan Hendra Rahardja dan Eko Edi Putranto. Ketiganya dinilai Majelis Hakim terbukti dan sah merugikan keuangan negara sebesar 195 triliun rupiah.
Vonis pidana tersebut diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI pada 8 November 2002 namun tidak dapat segera dieksekusi karena ketiganya melarikan diri ke luar negeri. Pemerintah Indonesia telah mengupayakan ekstradisi terhadap terhadap Hendra Rahardja dari Pemerintah Australia. Upaya ini tidak dapat terlaksana karena terpidana meninggal dunia pada tahun 2002.
Atas permintaan NCB-INTERPOL Indonesia, ICPO-INTERPOL di Lyon, Perancis, pada tahun 2006 telah mengeluarkan red notice terhadap Sherny Kojongian dan Eko Edi Putranto.
Dalam pelariannya di AS, Sherny Kojongian berupaya memperoleh kewarganegaraan AS dan sebelumnya juga mengajukan hak suaka. ICE (Immigration and Customs Enforcement) San Fransisco pada tanggal 10 November 2010 telah menangkap yang bersangkutan atas dasar red notice tersebut. Yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan penangguhan penahanan dengan jaminan, selama menunggu persidangan deportasi.
Sherny Kojongian alias Sherny Sahora naik banding atas putusan deportasi dari pengadilan San Francisco, namun kembali mendapat penolakan dari Ninth Circuit Court of Appeals AS . Pengadilan banding tersebut menguatkan putusan sebelumnya untuk mendeportasi Sherny ke Indonesia.
Tim yang yang terdiri dari wakil instansi terkait dan diketuai oleh Wakil Jaksa Agung ini, memulangkan buron Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ini ke tanah air dan direncanakan tiba di Indonesia pada 13 Juni 2012.
Keberhasilan upaya memburu Sherny Kojongian merupakan wujud nyata implementasi sinergi dan kerjasama internasional antara para penegak hukum untuk memberantas korupsi. Keberhasilan tersebut juga menunjukkan komitmen kuat Pemerintah Indonesia untuk menjamin tidak adanya kesan "safe haven" untuk para koruptor dan memastikan para terpidana korupsi mempertanggungjawabkan perbuatannya. Demikian rilis yang dikeluarkan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC (11/6).
Sherny Kojongian melarikan diri pada 2002 ketika proses persidangan kasus korupsi Bank Harapan Sentosa (BHS) berlangsung. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 18 Maret 2002 secara in absentia menjatuhkan vonis 20 tahun kepada Sherny Kojongian, bersama-sama dengan Hendra Rahardja dan Eko Edi Putranto. Ketiganya dinilai Majelis Hakim terbukti dan sah merugikan keuangan negara sebesar 195 triliun rupiah.
Vonis pidana tersebut diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI pada 8 November 2002 namun tidak dapat segera dieksekusi karena ketiganya melarikan diri ke luar negeri. Pemerintah Indonesia telah mengupayakan ekstradisi terhadap terhadap Hendra Rahardja dari Pemerintah Australia. Upaya ini tidak dapat terlaksana karena terpidana meninggal dunia pada tahun 2002.
Atas permintaan NCB-INTERPOL Indonesia, ICPO-INTERPOL di Lyon, Perancis, pada tahun 2006 telah mengeluarkan red notice terhadap Sherny Kojongian dan Eko Edi Putranto.
Dalam pelariannya di AS, Sherny Kojongian berupaya memperoleh kewarganegaraan AS dan sebelumnya juga mengajukan hak suaka. ICE (Immigration and Customs Enforcement) San Fransisco pada tanggal 10 November 2010 telah menangkap yang bersangkutan atas dasar red notice tersebut. Yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan penangguhan penahanan dengan jaminan, selama menunggu persidangan deportasi.
Sherny Kojongian alias Sherny Sahora naik banding atas putusan deportasi dari pengadilan San Francisco, namun kembali mendapat penolakan dari Ninth Circuit Court of Appeals AS . Pengadilan banding tersebut menguatkan putusan sebelumnya untuk mendeportasi Sherny ke Indonesia.