Kawasan laut dalam di Indonesia Timur memiliki cadangan migas sangat besar. Namun tantangan eksplorasinya begitu berat, sehingga mayoritas belum dikelola sampai saat ini. Indonesia membutuhkan investor kelas kakap, kata Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Dwi Soetjipto.
“Opportunity-nya sangat besar, potensinya sangat besar. Kita kan punya 128 cekungan, sekarang yang di-explore baru 54 cekungan. Jadi ada 74 cekungan ke depan. Tetapi memang tantangannya besar, karena kita membutuhkan investor-investor yang punya kekuatan finansial, karena ini nafasnya harus panjang,” ujar Dwi di Yogyakarta, Selasa (26/11).
Dwi Soetjipto hadir di Yogyakarta dalam Konvensi Gabungan Yogyakarta 2019 komunitas ahli di sektor ini. Hadir sekitar seribu ahli anggota Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI), Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Ikatan Ahli Fasilitas Produksi Minyak dan Gas Bumi Indonesia (IAFMI), dan Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI). SKK Migas berharap, ada rekomendasi sebagai hasil konvensi ini untuk meningkatkan produksi Migas tanah air. Konvensi berlangsung 25-28 November 2019.
Dwi menambahkan, potensi ini membutuhkan investor kelas kakap karena memiliki sejumlah tantangan. Berada di laut dalam kawasan Indonesia Timur, cekungan Migas tersebut membutuhkan biaya eksplorasi besar. Di tengah bisnis Migas dunia yang cenderung turun, investasi skala besar nampaknya belum akan datang dalam waktu dekat.
“Dengan 20 miliar dolar AS di Masela yang masuk. Saya kira ini membuktikan bahwa sesungguhnya investasi di Indonesia sangat menarik dan khususnya di laut dalam dan sebagian Indonesia Timur. Saya kira, ini menjadi momentum kita untuk bisa menarik investor ke depan lebih baik,” tambah Dwi.
Your browser doesn’t support HTML5
Masela yang disebut Dwi adalah blok gas di Maluku. Jepang menanamkan investasi 20 miliar dollar AS yang merupakan terbesar dalam 50 tahun terakhir. Inpex Corporation, perusahaan yang mengoperasikan blok ini mengklaim, proyek Lapangan Abadi di Blok Masela akan menghadirkan dampak ganda bagi Indonesia. Dalam hitungan mereka, Indonesia bisa meraih hingga 153 miliar dollar AS atau setara Rp 2.142 triliun pada kurs Rp14 ribu per dolar AS, hingga akhir fase produksi tahun 2055 nanti. Direncanakan, Masela akan mulai berproduksi pada 2027 mendatang.
Untuk minyak bumi, produksi Indonesia saat ini tercatat sekitar 750 ribu barel perhari. SKK Migas memproyeksikan, angka itu akan mencapai 1 juta barel perhari pada 2030 mendatang. Kuncinya adalah ekplorasi lebih masif.
Pengawasan Eksplorasi Diperlukan
Pakar Teknik Perminyakan dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Topan Herianto setuju dengan perhitungan SKK Migas mengenai investor kakap. Namun, dia mengingatkan peningkatan produksi juga bisa dikejar dengan pengelolaan lebih serius sumur Migas yang sudah ada.
“Beberapa di lapangan itu belum dioptimalkan, seperti blok Siak. Blok Siak itu sebelahan sama Blok Rokan. Blok Rokan itu produksinya 300 ribu barel, pernah jaya sampai 500 ribu barel. Blok Siak hanya 3 ribu barel, luas wilayah hampir sama, struktur geologinya hampir sama juga. Itu perlu penanganan yang serius,” ujar Topan.
Selain Blok Siak, Topan juga menyebut lapangan gas Kujung Blok Cepu, beberapa daerah di Jawa Timur bagian utara dan Jawa Tengah bagian utara sebagai contoh kawasan yang belum dimaksimalkan. Jika ingin meningkatkann produksi, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah turun dan mempelajari potensi di titik-titik yang lebih rapat. Semua ini, kata Topan, harus dilakukan oleh pemerintah.
Dikatakan Topan, eksplorasi dalam bisnis Migas dimulai ketika pemerintah menetapkan Wilayah Kerja Pertambangan (WKP). Wilayah tersebut kemudian ditawarkan kepada perusahaan Migas, yang jika tertarik mereka akan membuat komitmen eksplorasi.
“Nah, pengontrolan terhadap komitmen eksplorasi itu yang harus dilakukan oleh pemerintah. Jadi kalau sudah dapat lapangan, ya digarap,” ujar Topan.
Dalam kasus Blok Siak misalnya, produksinya hanya seperseratus ladang tetangganya, Blok Rokan karena ada strategi produksi yang dilakukan pengelolanya, yaitu Chevron. Ketika mengelola Rokan, kata Topan, Chevron tahu bahwa suatu saat ladang tersebut harus diserahkan kembali ke Pemerintah. Karena itulah, produksi Siak kecil karena ladang itu dianggap sebagai simpanan produksi mereka. Strategi semacam itu, ujar Topan sering dilakukan perusahaan Migas.
Faktor lain yang menghambat investasi Migas adalah harga yang anjlok hingga titik terendah. Lima tahun lalu, menurut Topan dari 110 dolar AS per barel, harga anjlok hingga 40 dolar AS per barel. Krisis itu menekan investasi. Dengan harga saat ini yang ada pada kisaran 60-70 dollar AS per barel, Topan berharap perusahan Migas kembali mau menaikkan investasi.
Khusus untuk investasi skala besar, Blok Masela akan menjadi titik penting. Jika blok ini mampu berproduksi sesuai perkiraan dan sukses, investasi di laut dalam kawasan timur Indonesia akan semakin menarik bagi perusahaan Migas.
“Saya rasa sekarang untuk minyak sudah bagus, sudah saatnya mengembangkan lagi. Pertamina sudah saatnya juga melakukan drilling campaign untuk semua lapangan, supaya produksi meningkat. Ekplorasi di struktur, apakah di perdalam, mencari sesuatu di bawah basement. Jadi orang petrogeologist-nya harus lebih cerdas menganalisis potensi yang masih ada di wilayah kerja produktif sekarang,” tambah Topan.
Lifting Terus Menurun
Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rudy Suhendar memaparkan posisi penting Migas dalam APBN. Dalam konvensi di Yogyakarta, Rudy mengatakan selain sebagai sumber pasokan utama kebutuhan energi nasional, Migas juga sumber pendapatan negara.
“Ada parameter khusus Migas dalam penyusunan APBN yang berupa asumsi lifting dan harga minyak mentah. Kegiatan usaha hulu Migas, memiliki kontribusi sekitar 30 persen dari penerimaan negara,” kata Rudy.
Namun, yang perlu dicatat, Migas yang dinikmati hari ini, adalah hasil eksplorasi belasan bahkan puluhan tahun lalu. Kegiatan hulu Migas, kata Rudy, menjadi kunci penemuan cadangan untuk meningkatkan produksi nasional. Sayangnya, sejak 18 tahun yang lalu ketika Lapangan Gas Abadi di Blok Masela ditemukan, hingga saat ini belum ditemukan lagi cadangan Migas nasional yang signifikan.
Kenyataan itu membuat produksi Migas Indonesia 80 persen bergantung pada lapangan yang sudah matang atau mature. Dalam 10 tahun terakhir, cadangan Migas nasional pun mengalami penurunan signifikan. Pada 2014 , realisasi lifting Migas tercatat 794 ribu barel minyak per hari dan gas 1,2 juta barel setara minyak perhari. Sedang September 2019, lifting minyak hanya 745 ribu barel perhari, dan gas 1,05 juta barel setara minyak per hari. [ns/lt]