Cabotegravir, Obat Baru yang dapat Mengubah Strategi Pencegahan HIV secara Signifikan

  • Steve Baragona

Contoh produk dari Cabenuva atau cabotegravir. (Foto: Business Wire via AP)

Para ahli mengatakan sebuah obat baru yang dapat bertahan lama bisa menjadi faktor signifikan untuk mencegah infeksi HIV.

Para aktivis pemerhati isu HIV berharap bahwa mereka yang berada di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah yang paling membutuhkan obat-obatan tersebut tidak perlu menunggu lama seperti sebelumnya. Namun, hingga kini masih terdapat pertanyaan mengenai akses dan harga obat tersebut.

BACA JUGA: Kemenkes: 12.553 Anak Indonesia Terinfeksi HIV

Obat itu disebut cabotegravir dan diberikan dalam bentuk suntikan setiap dua bulan sekali. Dalam uji klinis, obat tersebut lebih manjur dalam mencegah infeksi daripada opsi lain yang tersedia, yaitu pil yang diminum sekali sehari.

Suntikan dua bulanan itu tampaknya merupakan bentuk pengobatan yang lebih mudah untuk dipatuhi daripada pil harian, menurut Mitchell Warren, direktur eksekutif AVAC, sebuah organisasi advokasi pencegahan HIV.

“Kalau bisa minum pil setiap hari itu bagus. Tapi kalau tidak bisa, kita melihat banyak orang yang tidak melanjutkan mengkonsumsi pil itu,” katanya.

Selain ketidaknyamanan, terdapat stigma yang melekat pada pengkonsumsian pil, kata Warren. Pil yang dikonsumsi untuk mencegah infeksi HIV, yang disebut pre-exposure prophylaxis, atau PrEP, sama dengan obat yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV.

“Jika Anda masih muda dan orang tua Anda menemukan botol pil Anda, mereka akan mengatakan, ‘Mengapa Anda meminum pil ini? ApakahAnda terinfeksi HIV?’ Dan anak muda itu mungkin mengatakan, ‘Tidak, saya melindungi diri saya sendiri,’” kata Warren. “Dan mereka (para orang tua.red) mengatakan, ‘Nah, mengapa kamu berhubungan seks?’”

BACA JUGA: Seorang Perempuan Terima Donor Jantung dari Pendonor HIV-Positif

Obat jangka panjang seperti cabotegravir atau produk baru lainnya, yaitu alat kontrasepsi cincin vagina yang dipasang satu bulan sekali, menawarkan lebih banyak pilihan kepada pasien, tambahnya.

Sekitar 1,5 juta orang terinfeksi HIV pada tahun 2021, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di mana sekitar 60 persen dari jumlah tersebut tinggal di Afrika. [lt/rs]