Nasib sial yang dialami Ngadiyono, calon legistlatif (caleg) Partai Gerindra Kabupaten Gunungkidul ini bermula pada 28 November 2018. Ketika itu, capres 02 Prabowo Subianto berkampanye ke Yogyakarta. Sebagai kader, tentu Ngadiyono turut serta. Sayangnya, dia membawa mobil dinas berplat merah AB 9 D ke kampanye itu. Mobil dinas Ngadiyono terpantau anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Kasus mobil dinas pun terus bergulir, hingga pada 4 Februari 2019, Ngadiyono diputus bersalah oleh pengadilan dengan hukuman penjara dua bulan percobaan empat bulan dan denda Rp 7,5 juta. KPU kemudian mencoret nama Ngadiyono dari Daftar Calon Tetap, yang berarti pria itu gagal berlaga di Pemilu 2019. Pencoretan itu secara resmi dilakukan pada 20 Februari 2019.
Ketua KPU Gunungkidul, Ahmadi Ruslan Hani mengatakan, pencoretan dilakukan sebab Ngadiyono melakukan tindak pidana Pemilu.
Your browser doesn’t support HTML5
“Kita melakukan pencoretan atau pembatalan karena menindaklanjuti keputusan Pengadilan Sleman yang sudah berkekuatan hukum tetap, yang merupakan tindak pidana pemilu sesuai Pasal 25 UU No 7 tahun 2017, maka peserta pemilu yang terdaftar dalam DCT, dalam hal melakukan tindak pidana Pemilu, ada surat keputusan pengadilan sudah berkekuatan hukum tetap, itu menjadi dasar pembatalan,” kata Ahmadi Ruslan Hani.
KPU meyakini keputusan ini sudah tepat karena caleg bersangkutan melakukan tindak pidana Pemilu sesuai keputusan pengadilan. Tanpa mempertimbangkan hukuman yang dijatuhkan hakim, KPU bisa langsung melakukan pencoretan sesuai undang-undang Pemilu. Jika caleg melakukan tindak pidana umum, maka belum tentu dilakukan pencoretan semacam itu. Apalagi keputusan itu sudah berketetapan hukum menurut sistem di Indonesia.
Secara teknis, kata Ahmadi, KPU akan mencoret nama Ngadiyono dari DCT. Nama caleg tersebut tetap akan ada dalam surat suara sesua daerah pemilihannya di Gunungkidul, karena sudah telanjur dalam proses cetak. Jika nama Ngadiyono dicoblos oleh pemilih, suaranya akan dialihkan untuk partai Gerindra. “Sebelum pleno pembatalan ini, sudah kita konsultasikan dengan KPU DIY dan juga ke KPU Pusat,” tambah Ahmadi.
Dilaporkan Gara-Gara Pantat
Ngadiyono juga dilaporkan ke Polda DIY pada 4 Desember 2018, terkait apa yang dilakukannya kepada anggota Bawaslu. Ketika diklarifikasi terkait mobil dinas yang dia bawa, menurut Bawaslu, Ngadiyono ketika itu justru menggerakkan pantatnya ke arah petugas. Tindakan itu ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap lembaga negara.
Sri Rahayu Werdiningsih, Koordinator Divisi Penindakan Pelanggaran Bawaslu DIY di Polda DIY mengatakan, Ngadiyono mengeluarkan kata-kata tidak pantas dan isyarat tubuh yang menghina.
“Saat yang bersangkutan datang, ada Panwas kami. Mengetahui ada Bawaslu di sana yang bersangkutan menegur dengan berkata ‘Bawaslu ya’. Dan melontarkan kata-kata ‘pret’ sambil dalam bahasa Jawa istilahnya mleding (memantati). Itu menghina dengan pantatnya sambil menunjukkan plat mobil dinasnya,” kata Sri Rahayu.
Bawaslu melaporkan Ngadiyono terkait dugaan pelanggaran penghinaan terhadap lembaga negara. Mengutip Pasal 207 KUHP, barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia. Tindakan ini diancam hukuman maksimal 1 tahun penjara.
Melawan di Pengadilan
Namun, Ngadiyono tak mau menyerah setelah KPU mencoret namanya dari daftar. Dia menggugat keputusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Sidang pertama kasus ini digelar pada Selasa (05/03) siang, dan menghadirkan seluruh pihak terkait.
Menurut Romi Habie, pengacara Ngadiyono dalam perkara ini, gugatan dilayangkan untuk menguji apakah keputusan KPU tersebut sah atau tidak.
“Setelah kami analisa secara komprehensif, ada banyak kejanggalan surat itu yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan. Terkait pencantuman dasar hukum pencoretan, itu mengambil dasar hukum yang tidak jelas,” kata Romi.
KPU sendiri telah mengakui melakukan kesalahan pencantuman dasar hukum, namun mereka menilai itu tidak substantif. Dalam keputusan KPU, yang menjadi dasarnya adalah Peraturan KPU No 31 tahun 2019. Peraturan itu sendiri belum ada, karena yang benar adalah Peraturan No 20 tahun 2018 yang diperbaharui dengan Peraturan No 31 tahun 2018.
Pengacara melihat celah ini untuk melawan keputusan KPU yang dinilai tidak hati-hati dalam menyusun surat keputusan.
Romi juga menegaskan, kesalahan Ngadiyono tidak dapat dijadikan alasan melakukan pencoretan.
“Harus diingat bahwa dalam putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, beliau dinyatakan dipidana karena menggunakan fasilitas negara. Tetapi dalam surat KPU, yang dijadikan pertimbangan dalam SK itu, dinyatakan bahwa apabila terdakwa melakukan tindak pidana pemalsuan surat atau memalsukan dokumen. Itu yang bisa dicoret. Sedangkan beliau melakukan tindak pidana fasilitas negara,” kata Romi Habie.
Pengacara juga meminta KPU memperhatikan hak politik Ngadiyono. Posisinya saat ini adalah Wakil Ketua DPRD Kabupaten Gunungkidul, dan memiliki pendukung yang akan memilihnya kembali dalam Pemilu mendatang.
Terkait penggunaan mobil dinas, akhir pekan lalu di Yogyakarta, Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo meminta pejabat di daerah berhati-hati. Dia meminta gubernur, bupati dan semua pejabat memahami aturan yang ada.
“Sebagai pejabat daerah dia netral, tetapi sebagai wakil partai, sebagai pribadi, yang didukung oleh partai politik, dia boleh kampanye. Tetapi harus ijin kepada KPU, kalau hari kerja, kecuali Sabtu-Minggu. Dia juga tidak boleh menggunakan uang daerah, tidak boleh mengunakan mobil dinas, tidak boleh menggunakan aset daerah. Fair semua. Terukur,” jelas Tjahyo Kumolo. [ns/ab]