Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) mengatakan masih banyak Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN) swasta yang memiliki asrama penampungan calon pekerja migran Indonesia (CPMI) dengan kondisi yang jauh dari layak dan tidak manusiawi.
Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini mengatakan berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan pada 2022, para calon pekerja migran, terutama perempuan, kerap mendapat perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat di tempat-tempat penampungan tersebut.
Di sisi lain, absennya upaya pencegahan dan antisipasi terhadap kekerasan, pelecehan dan perundungan menyebabkan korban tidak tahu harus melapor ke mana. Akibatnya, korban tidak mendapat penanganan dan pemulihan.
“Ini kalau terus menerus terjadi maka banyak sekali perempuan PMI (Pekerja Migran Indonesia) atau perempuan CPMI yang kesulitan untuk tinggal di dalam tempat-tempat yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta sebelum mereka berangkat ke luar negeri,” papar Theresia dalam Pra-Peluncuran Laporan Hasil Pemantauan Praktik Penampungan Pekerja Migran Indonesia, Senin (18/12).
BACA JUGA: Pemerintah akan Cabut Moratorium Pekerja Migran ke Timur TengahBeberapa temuan Komnas Perempuan saat melakukan pemantauan yang dilakukan di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat, antara lain asrama dengan fasilitas yang kurang layak, bekerja tanpa upah, dan pembatasan komunikasi serta kunjungan keluarga.
Hasil pemantauan itu menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) belum mampu memberi perlindungan seperti yang diharapkan dan masih menempatkan perempuan pekerja migran dalam posisi yang lebih rendah serta rentan seperti saat belum adanya regulasi tersebut.
Tempat penampungan mirip tahanan
Komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi, menerangkan pemantauan praktik penampungan perempuan CPMI/PMI adalah komitmen komisi dalam upaya advokasi dan mencegah penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia di lembaga atau tempat-tempat penampungan serupa tahanan.
Satyawanti menjelaskan tahanan tidak hanya didefinisikan sebagai ruangan yang disebut penjara. Tahanan, ujarnya, bisa juga menggambarkan situasi dan kondisi yang mengarah pada upaya penahanan yang diberikan kepada seorang individu bebas.
“Namun (individu) mengalami pembatasan kebebasan sehingga yang bersangkutan seakan-akan dalam kondisi terpenjara, yang dikenal kondisi serupa tahanan,” jelas Satyawanti.
Anggota tim pemantauan dan penulis laporan, Thaufiek Zulbahary, mengungkapkan dalam pemantauan itu pihaknya menemukan empat BLKLN swasta yang mewajibkan CPMI melakukan sejumlah pekerjaan tanpa upah. Alasannya, untuk melatih CPMI agar terampil dan beradaptasi dengan pekerjaan di luar negeri.
“Dari membersihkan kantor, toilet WC atau kamar mandi, dapur, gedung asrama, memasak, buang sampah, menyapu halaman seluruh area BLKLN. Bahkan ada BLKLN yang mempekerjakan CPMInya sebagai pesuruh atau mengerjakan administrasi ringan,” jelas Thaufiek, tanpa memperinci nama BLKLN tersebut.
Komnas Perempuan juga menemukan dua BLKN swasta yang membatasi komunikasi CPMI dengan hanya mengizinkan para calon pekerja migran menggunakan telepon seluler pada Sabtu malam hingga Senin pagi.
Selain itu juga, Komnas Perempuan menemukan tiga Balai Latihan Kerja swasta dan Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BPVP) hanya mengizin calon pekerja migran untuk keluar dari area pelatihan untuk durasi yang terbatas.
Rekomendasi Komnas Perempuan
Komnas Perempuan merekomendasikan Kementerian Ketenagakerjaan untuk melakukan pembinaan terhadap BLKLN dan BPVP dalam pelaksanaan pelatihan termasuk memastikan BLKLN memiliki sarana dan prasarana pelatihan serta asrama perempuan CPMI yang layak dan terstandarisasi.
Selain itu juga, Kementerian Ketenagakerjaan harus membangun mekanisme pengaduan dan penanganan korban kekerasan dan pelanggaran di BLKLN yang bisa diakses oleh perempuan CPMI/PMI.
“Melakukan pembinaan terhadap P3MI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia-red) dan BLKLN serta BPVP untuk mencegah berbagai praktek kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan CPMI di BLKLN, termasuk menghilangkan kewajiban bagi perempuan CPMI untuk bekerja tanpa mendapatkan upah,” kata Theresia Iswarini yang membacakan rekomendasi tersebut.
Komnas Perempuan juga merekomendasikan agar pemerintah provinsi (Pemprov) dan pemerintah kabupaten kota (pemkab/pemkot) untuk memastikan adanya Peraturan Daerah Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) sesuai dengan UU PPMI yang memastikan pencegahan, penanganan, perlindungan dan pemulihan perempuan PMI di wilayah masing-masing.
Your browser doesn’t support HTML5
Butuh Pengawasan yang Kuat
Menanggapi temuan Komnas Perempuan, Direktur Penempatan Nonpemerintah Kawasan Asia dan Afrika, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Sri Andayani, mengatakan pasca lahirnya UU Perlindungan Pekerja Migran seharusnya sudah tidak ada lagi perekrutan calon pekerja migran untuk dilatih.
“Bahwa prosesnya itu bukan proses dimobilisasi, direkrut kemudian untuk dilatih tapi bagaimana memanfaatkan dengan semua BLKLN yang ada baik itu BLKLN pemerintah maupun swasta, kaitan dengan pelatihan itu adalah di awal jadi prosesnya adalah proses seleksi,” kata Sri Andayani.
Ditambahkannya dibutuhkan pengawasan yang kuat oleh pemerintah untuk memastikan tidak lagi terjadi perekrutan dan penampungan Calon Pekerja Migran Indonesia.
Alarm Praktik Dehumanisasi
Akademisi Universitas Indonesia, Bhakti Eko Nugroho menilai temuan Komnas Perempuan itu dapat memperkuat arus upaya pendidikan publik untuk memperhatikan situasi perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) pada tempat-tempat serupa penahanan.
“Saya rasa laporan ini menjadi alarm bahwa praktik-praktik yang dehumanisasi itu tidak hanya berpotensi pada terabaikannya hak asasi manusia, juga tadi banyak disinggung tentang potensi terjadinya penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi, tapi ini juga berpotensi pada munculnya pelanggaran pidana dalam hal ini adalah TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang),” kata Bhakti Eko Nugroho. [yl/ft]