Kepala Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Kepolisian Resort Alor, Nusa Tenggara Timur, Iptu Yames Jems Mbau mengatakan kepada VOA, sebanyak 14 perempuan korban tindak asusila oleh seorang vikaris atau calon pendeta sudah memberikan keterangan kepada penyidik.
Menurut Iptu Yames, sepuluh dari para korban itu adalah anak-anak berusia 13-17 tahun, sedangkan empat lainnya adalah perempuan dewasa. Mereka mengalami pelecehan dari pelaku, yang berinisial SAS, selama satu tahun belakangan, dari Mei 2021 hingga Mei 2022.
“(Dari) yang sepuluh itu itu di antaranya sembilan korban anak yang disetubuhi. Satu korban itu ranahnya ITE (Informasi Transaksi Elektronik), pelaku mengirimkan foto-foto vulgarnya,” kata IPTU Yames Jems Mbau saat dihubungi VOA dari Palu.
Para korban adalah murid sekolah Minggu Majelis Sinodo Gereja Masehi Injili di Timor (MS GMIT) Siloam Nailang di Desa Waisika, Kecamatan Alor Timur Laut. Pelaku bertugas sebagai vikaris di desa tersebut.
Kasus itu terungkap setelah pihak gereja mengirim psikolog dari Rumah Harapan GMIT ke Pulau Alor untuk bertemu para korban dan orang tua serta memberi konseling. Setelah para korban mengakui bahwa mereka adalah korban pelechan, papar Iptu James, mereka beserta orang tua melaporkan kasus itu ke Kepolisian Resor (Polres) Alor pada 1 September.
Polisi kemudian menetapkan SAS sebagai tersangka pada 6 September 2022 dan sudah diamankan dalam tahanan polisi. Polisi menjerat pelaku dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup atau paling singkat 10 tahun, paling lama 20 tahun penjara.
Kasus itu diharapkan sudah bisa dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum pekan depan.
BACA JUGA: Relasi Kuasa Hierarkis dan Kasus Kekerasan Seksual di Gereja Katolik
Gereja Dukung Proses Hukum
Majelis Sinode GMIT dalam siaran pers yang diterima VOA, Jumat (24/9), menyatakan mendukung penuh proses hukum tersangka yang bertugas sebagai vikaris GMIT sejak Desember 2020 hingga Mei 2022. Pihak gereja mengakui sangat terpukul dengan kasus tersebut karena terjadi di tengah upaya membangun gereja yang ramah anak.
“Harusnya ada pengawasan yang lebih baik terhadap pelaksanaan vikariat supaya hal seperti yang dilakukan pelaku tidak berjalan sampai sekian banyak korban tanpa terdeteksi,” Majelis Sinode GMIT mengatakan dalam siaran pers tersebut.
Selain itu, Majelis Sinode GMIT juga menyampaikan permohonan maaf kepada para korban dan orang tua mereka.
“Pihak MS GMIT menyatakan pembelajaran yang sangat mahal dari kasus itu menjadi momen untuk membuat protokol pencegahan kekerasan seksual terhadap anak, perempuan dan kelompok rentan dalam lingkup GMIT agar peristiwa itu tidak terulang di masa depan,” kata pihak gereja.
BACA JUGA: Glorifikasi Pelaku Kekerasan Seksual: Media atau Masyarakat yang Sakit?
Pasal Berlapis
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Nusa Tenggara Timur, Veronika Ata, mengecam keras kasus itu karena saat berbagai pihak berjuang menghentikan kekerasan seksual, seorang pemuka agama malah melakukan pelecehan seksual. Apalagi korban kebanyakan adalah anak-anak.
“Pelaku wajib diproses secara hukum dan dikenai pasal berlapis, mendapatkan hukuman maksimal atau seberat-beratnya agar dapat memberikan rasa keadilan bagi korban maupun memberikan efek jera bagi pelaku,” kata Veronika, Sabtu (24/9).
Your browser doesn’t support HTML5
Menurut Veronika, Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan secara khusus UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual bisa diterapkan untuk kasus ini.
Selain hukuman kebiri yang diatur oleh UU Perlindungan Anak, pelaku bisa dijerat dengan Pasal 12 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual tentang eksploitasi seksual dengan hukuman maksimal 15 tahun. Adapun pidana tambahan yakni pengumuman identitas pelaku. [yl/ft]