Inilah petikan pernyataan Presiden Amerika Joe Biden saat membuka US Democray Summit atau KTT Demokrasi yang dilangsungkan secara virtual pada tanggal 9 dan 10 Desember lalu di Washington DC.
“Demokrasi kadang-kadang rapuh, tetapi secara inheren tangguh,” ujarnya sambil mencontohkan perjuangan berkelanjutan untuk menegakkan dan meredefinisi demokrasi, serta menjawab tantangan yang ada.
BACA JUGA: Biden Akui Kerentanan Demokrasi AS pada Pembukaan KTT DemokrasiWakil Asisten Utama Menteri Luar Negeri untuk Asia Timur dan Pasifik Kin Moy menggarisbawahi kembali hal itu dalam diskusi menjelang KTT Demokrasi itu.
“Salah satu alasan mengapa demokrasi dapat terus berjalan, sementara model otoriter tidak, adalah karena komitmen yang kuat pada transparansi dan kemauan untuk terus meningkatkan demokrasi itu sendiri," ujarnya.
Ia menambahkan, "Amerika mengakui dan menghadapi ketidaksempurnaan dan tantangan demokrasi, sehingga kita dapat – sebagaimana disebut dalam Konstitusi Amerika – membentuk persatuan yang lebih sempurna. Ketidakadilan rasial sistemik yang terungkap pasca pembunuhan George Floyd, kesenjangan kekuasaan terkait gender yang disorot dalam gerakan #MeToo, dan gelombang kejahatan bermotif kebencian anti-Asia merupakan contoh-contoh bagaimana Amerika juga menghadapi sejarah dan budaya yang rumit.”
KTT Demokrasi, Bagian dari Strategi Politik Luar Negeri AS
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti PhD, yang ikut menjadi salah seorang pembicara dalam forum itu, mengatakan pada VOA bahwa KTT Demokrasi ini tidak saja merupakan upaya Amerika mengkaji ulang demokrasi di negaranya sendiri, tetapi juga bagian dari strategi politik luar negeri Amerika.
“Bagaimana misalnya Amerika tengah memposisikan dirinya dan kawan-kawannya terhadap China misalnya. Bahwa wilayah Indo-Pasifik harus diklaim untuk menentukan apa yang disebut demokrasi, sebelum nantinya China masuk dan mempengaruhi banyak negara. Jadi wajar saja ketika beberapa negara tidak diundang," katanya.
Ia melanjutkan, "Ini bukan berarti pilih kasih dalam meredefinisi demokrasi, mungkin dalam bahasa Biden “redefine democracy” itu adalah meredefinisi demokrasi menurut pemerintah yang sekarang. Dia harus buru-buru klaim karena kemarin khan sudah dihancurkan oleh pemerintahan sebelumnya. Dan pengaruh China ini makin lama makin kuat, termasuk di Indonesia. Jadi Amerika melangsungkan KTT ini untuk buru-buru mengklaim dan menentukan apa yang disebutnya sebagai demokrasi dan politik luar negerinya untuk menghadapinya nanti. Ini konteksnya lebih ke geopolitik.”
Presiden Jokowi Tegaskan Komitmen Indonesia
Ketika berbicara dalam sessi dialog di KTT Demokrasi hari Kamis (9/12), Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa komitmen Indonesia pada demokrasi melintasi batas negara. Ia mencontohkan penyelenggaraan Bali Democracy Forum BDF, suatu forum “berbagi perspektif mengenai demokrasi secara inklusif tanpa harus saling menyalahkan” yang sudah berumur 14 tahun. BDF, tambahnya, telah menjadi forum bertukar praktik terbaik tentang bagaimana mengelola demokrasi dan tantangan yang dihadapi.
Jokowi juga menyebut inisiatif Indonesia membentuk ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, dan menggagas dihidupkannya kembali Human Rights Dialogue, sejenis Universal Periodic Review di ASEAN, setelah sembilan tahun terhenti. Indonesia, tambahnya, juga mendorong pelaksanaan HAM dan demokrasi lewat Organisasi Kerjasama Islam OKI, dan berkontribusi besar dalam ASEAN untuk menyelesaikan krisis di Myanmar.
Bivitri Susanti PhD: “Apakah Demokrasi Sudah Deliver?”
Namun, Bivitri mengatakan pemerintah berhak menyampaikan demikian karena secara prosedur, “kelihatannya demokrasi baik-baik saja.”
“Jika hanya dilihat prosedur demokrasinya, tentu saja pemerintahan di ASEAN atau Indo-Pasifik bisa mengklaim bahwa negaranya sudah demokratis, tetapi pertanyaannya adalah apakah demokrasi-nya sudah “deliver?” Artinya penikmat demokrasi seharusnya adalah warga, bukan orang-orang yang punya kekuasaan. Jika Pak Jokowi, atau Duterte yang bicara, tentu menggunakan kacamata elit – misalnya Munas Golkar jalan, UU Cipta Kerja tercapai, Mahkamah Konstitusi bisa memutuskan judicial review. Tetapi demokrasi punya dampak yang riil gak untuk warga. Dari ceritaku dan yang dari Filipina, tidak sepenuhnya demokrasi tercapai karena di bawah, bukan di tingkat elit, demokrasi justru dibungkam. Ini yang membuat demokrasi seakan baik-baik saja. Kuncinya yang terjadi sekarang adalah democracy backsliding. Ini terminologi yang ingin menggambarkan betul bahwa demokrasi seakan-akan baik-baik saja, tetapi sebenarnya sedang jungkir balik karena aktor-aktor demokrasi itu sendiri. Anti-demokrasi bukan hanya melalui tank dan senjata, tetapi ketika di dalam prosedur yang seakan-akan baik-baik saja, sesungguhnya hancur karena yang diuntungkan hanya yang memiliki kekuasaan,” ulasnya.
BACA JUGA: KTT Demokrasi Ditutup, AS Batasi Ekspor Teknologi yang Dipakai Langgar HAMHal senada disampaikan Carmela Fonbuena, Direktur Philippines Centre for Investigative Journalist. “Di Filipina juga terjadi democracy backsliding, di mana banyak pihak menyamakan pemerintahan diktator Duterte sekarang ini seperti pemerintahan Marcos. Duterte lah yang memerintahkan pembunuhan bandar dan pemakai narkoba, yang jelas melanggar HAM. Duterte juga bertanggungjawab atas penutupan jaringan televisi terbesar di Filipina ABS-CBN. Dunia pun tahu bagaimana Duterte melecehkan Rappler dan Maria Ressa lewat berbagai gugatan hukum. Filipina juga dikenal sebagai salah satu negara paling berbahaya bagi wartawan."
Indonesia bersama Malaysia, Filipina dan Timor Leste adalah empat dari 11 negara di Asia Tenggara yang ikut diundang untuk berbicara dalam KTT Demokrasi yang diikuti 110 negara itu.
Namun secara khusus Amerika tidak mengikutsertakan China, Rusia, Hongaria, Mesir dan Turki.
IDEA & PBB Catat Kemunduran Hak Asasi Kelompok Minoritas di AS
Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) yang berbasis di Stockholm, Swedia, mencatat kemunduran demokrasi juga terjadi di Amerika, yang ditandai dengan menurunnya efektifitas parlemen, kebebasan sipil dan tata kelola pemerintahan.
Catatan serupa terdapat dalam Laporan HAM PBB tentang Amerika, yang menunjukkan kekhawatiran masyarakat internasional terhadap memburuknya hak asasi kelompok-kelompok minoritas.
Your browser doesn’t support HTML5
Laporan yang disampaikan Pelapor Khusus PBB untuk Isu Minoritas Fernand de Varennes memaparkan lonjakan anti-Yahudi, anti-Asia, Islamophobia, cercaan yang bersifat menghina terhadap komunitas Amerika Latin, xenophobia, dan sebagainya.
Dalam pidatonya Biden, yang juga menyoroti soal kemunduran demokrasi ini, mengatakan keberanian untuk senantiasa melakukan perbaikan secara bersama-sama akan terus memajukan demokrasi.
“Saya percaya kita bisa melakukan itu, dan kita akan melakukannya jika memiliki keyakinan pada diri kita sendiri, pada demokrasi, dan pada satu sama lain,” tandas Biden. [em/jm]