Catatan Hari Perempuan Sedunia: Perempuan Mulai Sadar Politik

  • Petrus Riski

Para Caleg perempuan beserta para panelis dalam acara "Diskusi “Perempuan Bersuara! Dialog Caleg Perempuan Merespons Agenda Politik Keterwakilan Perempuan di Pemilu 2019,” di Jakarta, Minggu (3/3) (Foto: VOA/Ghita)

Salah satu catatan penting dalam peringatan Hari Perempuan Sedunia tahun ini adalah semakin banyaknya perempuan sadar politik.

Seiring kebangkitan pemberdayaan perempuan di seluruh belahan dunia, kini semakin banyak perempuan yang sadar politik. Meskipun demikian kesadaran akan pentingnya peran perempuan dalam hidup berbangsa dan bernegara, menurut politisi perempuan dari Partai Nasdem, Lathifa Al Anshori, masih belum merata dan perlu penguatan.

“Ya menurut saya yang PR (pekerjaan rumah) sekarang masyarakat luas belum aware. Dalam setiap perjuangan, yang memperjuangkan itu lebih sedikit dari yang diperjuangkan. Oke, yang diperjuangkan size-nya seginigede (besar), yang memperjuangkan karena yang punya tampuk kebijaknnya cuma segini (kecil), padahal ini kepentingan orang segini banyak. Sementara ketika kita harus mengegoalkan orang yang segini ini (besar), itu harus dengan dukungan orang yang segede gini (besar juga), itu yang menjadi PR. Kalau PR pemerintah adalah membuat orang lebih aware dengan isu-isu (gender) ini,” papar Lathifa Al Anshori kepada VOA.

BACA JUGA: Tuntut Tanggung Jawab Negara, Ribuan Perempuan Turun ke Jalan

Meski demikian, peran serta perempuan dalam politik maupun organisasi kemasyarakat sudah semakin meningkat dibandingkan periode lima tahun sebelumnya. Lathifa menilai perempuan saat ini sudah mulai menyadari peranannya, dalam berbagai fungsi dan profesi di masyarakat.

“Per-periode ini lebih baik ya, karena kesadaran perempuan, baik di dalam partai politik maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan, itu lebih tinggi,” ujar Lathifa.

Para pembicara dan mahasiswa peringatan Hari Perempuan Internasional di Universitas Airlangga Surabaya (foto Petrus Riski/VOA).

Mahasiswa FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Elni Nainggolan, menilai meski sudah semakin banyak perempuan yang sadar akan politik, namun perjuangan perempuan di dunia politik masih belum didukung secara penuh oleh kaum perempuan sendiri, karena kurangnya pemahaman mengenai kesetaraan gender maupun kentalnya budaya patriaki.

“Untuk saat ini dirasa ya, sudah mulai banyak perempuan-perempuan yang sudah menyadari, sadar politik, dan juga sudah banyak yang bahkan terjun ke dunia politik itu secara langsung juga. Tapi kadang-kadang itu terhambat, oleh karena ada tidak kesadarannya perempuan-perempuan yang lain, jadi tidak terjadi girls supporting girls, sehingga kadang-kadang perempuan terhambat oleh karena perempuan-perempuan yang lain yang belum tersadarkan sejara gender pengetahuannya," ujar Elni Nainggolan.

BACA JUGA: Peringati Hari Perempuan, Kelompok Sipil Bandung Tuntut Hak Buruh

Ia menambahkan, "Kadang-kadang ada perempuan yang sudah menyadari kesetaraan gender dan lain-lain, dia lebih kayak, oh iya kita perlu support perempuan yang lainnya juga untuk bisa menyuarakan suara kita. Tapi ada yang belum menyadari itu, malah ada perempuan yang ngebet nikah muda, dan sebagainya seperti itu.”

Sementara itu, Pengajar Antropologi Gender, FISIP, Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari mengatakan, persoalan yang dihadapi perempuan zaman sekarang bukan lagi mengenai problem kesetaraan, melainkan mengenai sikap bijak dalam memanfaatkan teknologi yang digunakan melalui gadget atau telepon pintar. Teknologi yang digunakan masih belum dapat dimaksimalkan untuk mengembangkan dan memajukan kaum perempuan menjadi lebih baik.

Pinky Saptandari, pengajar Antropologi Gender FISIP Universitas Airlangga, memaparkan pentingnya peran perempuan pada masa kini (foto Petrus Riski-VOA).

“Tantangan perempuan di era millennium ini justru adalah, bagaimana mereka bisa cerdas dan bijaksana menyikapi perkembangan teknologi, kenapa? karena teleponnya smartphone, tetapi mereka tidak cukup smart untuk menjadi pengguna telepon tapi lebih untuk selfie, untuk kirim-kirim hal yang tidak penting-penting, padahal kan sebetulnya dengan teknologi itu mereka punya kesempatan untuk memajukan dirinya untuk lebih baik,” kata Pinky Saptandari.

Selain telepon pintar, Pinky menilai pemanfaatan media sosial juga menjadi tantangan baru bagi kaum perempuan, dalam menyikapi persoalan-persoalan yang sering dialami kaum perempuan. Persoalan-persoalan itu seperti pelecehan dan kekerasan seksual, perkawinan usia dini, gizi buruk, hingga peran perempuan di masyarakat yang tidak dijalankan secara baik dan positif. Pinky mengatakan, bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat khususnya perempuan, dapat diatasi bila kaum perempuan bersatu dan menyadari potensinya bagi bangsa dan negara.

“Harusnya itu dipakai untuk membuka kesadaran bersama menjadi gerakan untuk mengatasi masalah-masalah itu, apakah itu perkawinan anak, apakah stunting, bukan untuk menyebarkan berita bohong, kebencian yang tidak ada gunanya. Kalau misalnya kita menggunakan media itu untuk mengatasi perkawinan anak bersama-sama, mengatasi gizi buruk dan stunting bersama-sama, selesai masalah ini. Karena masalahnya kan orang ego ya, lebih memikirkan diri sendiri, stunting kan urusan pemerintah, yang penting anakku enggak, bukan gitu, bahwa ini problem kita bersama,” pungkas Pinky. (pr/em)