Puluhan tahun menjadi duta budaya Pasundan di AS, Andrew Weintraub fasih berbahasa Sunda. Gaya bicaranya pun Sunda pisan (kental sekali logat Sunda-nya).
"Kan sudah diajarkan bahasa Sunda di Bandung. Belajar bahasa Sunda dan teater wayang. Wayang golek khususnya," serunya.
Diaspora Indonesia di AS biasa menyebut Andrew, yang senang dipanggil Mas, sebagai seniman Sunda. Dia intens mempelajari kebudayaan Sunda sejak 1984 setelah ‘tersihir’ musik tradisional Pasundan.
Dalam upayanya ini, Andrew kerap tersandung bahasa. Tidak bisa berkomunikasi. Karena itu, ia mengaku terpaksa belajar bahasa Sunda.
“Untuk mengerti wayangnya dan untuk wawancara dengan dalang-dalang, kadang-kadang mereka sendiri tidak bisa bahasa Indonesia, jadi saya terpaksa berbahasa Sunda dalam riset. Trus, memang bahasa daerah untuk teater dan kesenian itu sangat penting karena ada banyak arti yang tidak bisa disampaikan dalam bahasa Indonesia, ya, harus pakai bahasa daerah,” jelasnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Begitu hambatan bahasa teratasi, Andrew seperti tak terbendung. Baginya alunan kecapi suling adalah musik yang indah. Dia juga meneliti teater wayang golek dan semua bentuk kesenian Sunda.
“Sejak itu saya bolak-balik ke Indonesia untuk cari data, untuk membuat studi tentang pantun sunda, kecapi suling, wayang golek. Dan pencak silat juga belajar,” imbuh Andrew.
Hasilnya, dia bisa nembang (melantunkan karya sastera dengan aturan tertentu), menjadi dalang wayang golek, dan semakin banyak mempelajari wujud budaya Bumi Parahiyangan. Pokoknya, kata Andrew, semua aspek. Pemahaman secara total kehidupan orang Sunda.
Andrew tidak hanya belajar. Ia juga mengajar, menyebarluaskan kebudayaan Sunda di Pittsburgh University, perguruan tinggi di negara bagian Pennsylvania. Secara rutin ia mengadakan acara pergelaran musik, mengingat posisinya sebagai musikolog, walau ia lebih pas disebut anthropolog musik.
“Hubungan antara musik dan kebudayaan sangat kaya. Melalui musik, bisa tahu tentang kebudayaannya. Kita harus mengaitkan musik dengan bahasa dan kehidupan suku etnis yang kita sedang teliti. Tidak bisa dipisahkan. Jadi, karena hubungannya sangat dekat, kalau saya belajar bahasa, saya akan lebih tahu tentang musik, bahasa dan kehidupan orang-orang di sana, dan akan lebih jelas kalau saya belajar bahasa dan musik masing masing,” jelasnya.
Belakangan Andrew merambah musik Dangdut. Ia membentuk kelompok musik Dangdut Cowboys. Dan kini sedang melakukan penelitian musik dan kebudayaan Banyuwangi di Jawa Timur, khususnya suku Osing. Ia berencana bermukim empat bulan di sana tahun depan.
“Indonesia sangat kaya dalam kebudayaan dan suku etnis yang beda-beda. Mungkin karena geografi ya, fisik, karena banyak pulau. Oleh karena itu ada banyak bahasa, ada banyak budaya, ada banyak cara kehidupan. Sangat berbeda,” sebutnya.
Cendekiawan lain, Joseph Errington, didapuk sebagai seniman Jawa. Perkenalannya pada kebudayaan Jawa dimulai ketika di kampusnya, Wesleyan University di negara bagian Connecticut, digelar gamelan dan tari Jawa. Sesekali ada pertunjukan wayang.
Beranjak ke pasca sarjana, tanpa ragu Jo – begitu ia akrab dipanggil -- memutuskan untuk mempelajari lebih jauh bahasa Jawa, bahasa asing yang sangat jarang diketahui ketika itu, tahun 1976. Nalurinya mengatakan, “Kalau pementasan Jawa begitu menarik, bahasanya pasti juga menarik. Nah itu. Pertama kali, saya mau belajar bahasa Jawa. Bukan bahasa Indonesia,” akunya.
Jo kemudian belajar bahasa Jawa tiga bulan. Setelah itu, dia pergi ke Cornell University untuk belajar bahasa Indonesia selama satu tahun. Ia mengungkapkan, “Variasi bahasa Indonesia itu sangat mengesankan.”
Penasaran, Jo pergi ke Indonesia. Ia menjadi mahasiswa penerima beasiswa Fulbright di Yogyakarta. Ia kuliah di Fakultas Sastera, mengambil jurusan bahasa Jawa Kuno. “Tapi saya juga dapat tutor untuk bahasa Jawa sehari-hari. Jadi, dengan satu tahun di sana sudah bisa bahasa Jawa sedikit,” jelas Jo.
Belum puas, Jo pindah ke Solo. Ia tinggal satu setengah tahun di sana, dan terus mempelajari bahasa Jawa. Tujuannya?.
“Untuk disertasi saya, unggah ungguh bahasa Jawa. Pada waktu itu, unggah ungguh masih cukup biasa. Tapi orang muda sudah kurang biasa. Apalagi yang halus. Makanya saya belajar bahasa Jawa,” jawabnya.
Hingga kini, Jo masih fasih berbahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Pada 2010, dia kembali ke Indonesia untuk melakukan penelitian di Kupang, terkait bahasa Indonesia.
“Jadi saya ingin mengerti bagaimana bahasa Indonesia digunakan sehari-hari oleh orang muda terdidik di kota itu. Dan itu tugasnya mengerti bagaimana bahasa Indonesia itu bisa begitu bervariasi, tetapi juga bisa (menjadi) bahasa persatuan,” imbuhnya.
Profesor Jo dan Profesor Andrew terus menyebarluaskan bahasa Jawa dan bahasa Sunda serta Indonesia secara keseluruhan, termasuk kebudayaannya. Tetapi, mereka mengakui, langkah mereka masih panjang untuk memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat Amerika. [ka/ab]