Cendekiawan Muslim Berharap Kongres Efektif Tingkatkan Peran Umat Islam Indonesia

  • Munarsih Sahana

Ketua MUI selaku penanggung Jawab Kongres Umat Islam Indonesia ke-6 di Yogyakarta, sedang berbicara di hadapan 700-an peserta kongres (Foto: VOA/Munarsih)

Para cendekiawan muslim berharap penyelenggaraan Kongres Umat Islam Indonesia ke-6 di Yogyakarta hingga hari Rabu (11/2) akan berhasil membantu meningkatkan peran umat Islam Indonesia di bidang politik, ekonomi dan budaya.

Diantara poin penting yang dihasilkan dalam keputusan kongres Umat Islam Indonesia yang disebut sebagai “Risalah Yogyakarta” adalah seruan kepada seluruh umat Islam Indonesia bersatu dan membangun kemitraan strategis serta melakukan penguatan peran politik, ekonomi dan budaya.

Kepada penyelenggara negara kongres menyerukan agar mengembangkan praktik politik yang ber-akhlaqul karimah dengan meninggalkan praktik politik yang menghalalkan segala cara dan menjadikan politik sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan kedamaian bangsa.

Profesor Jawahir Thontowi dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menilai, usulan membentuk Badan Pekerja untuk mengakomodasi hasil keputusan kongres menjadikan pertemuan tingkat nasional umat Islam tersebut lebih legitimate.

Thontowi menambahkan, keputusan meningkatkan peran umat Islam dibidang ekonomi akan sekaligus mendorong peran politik mereka.

“Saya melihat persoalan kemiskinan itu menjadi tantangan berat dan sekaligus berpengaruh pada kehidupan umat dalam kesadaran berpolitik. Kalau saya katakan kemiskinan umat Islam termasuk bangsa ini adalah juga didorong oleh apa yang disebut budaya membagi kemiskinan, itu sesungguhnya terjadi dalam kaitannya dengan praktek-praktek money politics. Karena cara itu membuat masyarakat sekaligus tidak hanya miskin secara uang tetapi juga miskin pengetahuan dalam konteks kesadaran politik,” kata Profesor Jawahir Thontowi.

Profesor Bachtiar Effendi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengkritik peran politik umat Islam Indonesia dalam beberapa tahun terakhir yang ia nilai tidak efektif. Menurutnya, melalui parpol berbasis Islamumat Islam Indonesia secara politis lebih sebagai pelengkap, dan keberadaan mereka cenderung dimanfaatkan untuk mendulang suara dalam pemilihan umum.

"Perolehan electoral mereka kalau digabung partai politik Islam itu cukup untuk memenuhi persyarakatan electoral threshold. Kenapa tidak berani mencalonkan calon presiden dari mereka sendiri ? Malahan mendukung calon presiden yang dicalonkan oleh partai lain," kata Profesor Bachtiar Effendi.

"Kalau itu yang terjadi, kan namanya pelengkap; memenuhi persyarakat electoral threshold partai lain, terus apa kalau bukan pelengkap. Saya kira semuanya harus mawas diri, dalam beberapa tahin ini umat Islam yang jumlahnya sangat besar itu hanya dimanfaatkan setiap lima tahun sekali,”lanjutnya.

Kyai Haji Ali Yazir yang mewakili MUI wilayah Yogyakartamengatakan MUI akan membentuk Badan Pekerja di semua tingkatan wilayah baik nasional maupun daerah untuk melaksanakan keputusan kongres.

Badan Pekerja merupakan representasi seluruh kekuatan umat Islam di Indonesia dan akan merinci keputusan terkait peran umat Islam di bidang politik, ekonomi dan budaya.

"Dari aspek politik adalah bagaimana membangun moral politik supaya dalam pilkada-pilkada yang akan datang di setiap wilayah tidak timbul lagi persoalan-persoalan yang terkait money politics dan sebagainya, terutama kepada internal partai-partai berbasis massa Islam, karena mereka juga bagian dari umat Islam yang ikut dalam kongres ini, ya nanti tentu kita kawal agar tindakan-tindakan politik dalam pilkada-pilkada yang sebentar lagi digelar ini nanti bisa mencerminkan politik yang berakhlaq mulia,” kata Kyai Haji Ali Yazir.

Kongres Umat Islam Indonesia ke-6 yang ditutup secara resmi oleh presiden Joko Widodo hari Rabu (11/2) juga menyatakan prihatin atas kondisi umat Islam di beberapa negara, khususnya Asia yang mengalami perlakuan diskriminatif dan tidak memperoleh hak –haknya sebagai warga negara.

Kongres meminta kepada pemerintah negara-negara yang bersangkutan untuk memberikan perlindungan berdasarkan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang berkeadilan dan beradab.

Yogyakarta dipilih sebagai penyelenggara karena dalam sejarahnya pernah 2 kali sukses menyelenggarakan kongres tiap enam tahun sekali tersebut.