Di balik kesuksesan film “Star Wars: the Last Jedi” yang berhasil menduduki peringkat pertama sebagai film berpenghasilan tertinggi yaitu lebih dari 600 juta dolar di Amerika, ternyata ada tangan kreatif anak bangsa yang memiliki andil besar dalam proses penggarapannya.
Dia adalah Johanes Kurnia yang dalam empat tahun terakhir ini bekerja sebagai Generalist Supervisor di perusahaan Industrial Light & Magic yang didirikan oleh pencipta Star Wars, George Lucas, di San Francisco, California.
Sebagai Generalist, Johanes menggenggam tanggung jawab yang besar dalam menciptakan digital environment atau latar belakang sebuah obyek dalam film yang diadaptasi dari lokasi yang nyata, setelah sebelumnya pengambilan gambar dilakukan dengan latar belakang layar hijau atau green screen.
“Kita banyak sekali menggunakan fotografi dari lokasi, karena tujuannya memang menciptakan sesuatu yang as real as possible,” papar Johanes Kurnia kepada VOA baru-baru ini.
Bersama sekitar tujuh anak buahnya, Johanes dipercaya untuk menggarap sequence atau rangkaian adegan yang sangat signifikan dalam film Star Wars: the Last Jedi yang terfokus di planet Crait.
“Di sequence itu kita harus membuat beberapa lokasi digital. Yang pertama yaitu sebuah environment dimana terjadi peperangan antara (pemberontak) dan serdadu imperial, dan yang kedua kita harus membuat gua dimana tempat (pemberontak) itu bersembunyi. Dan di environment yang ketiga, kita menciptakan terowongan kristal dimana kapal terbang imperial sedang mengejar Millennium Falcon, dimana Rey dan Chewbacca berada,” jelas pria kelahiran tahun 1980 ini.
Proses penggarapan rangkaian adegan yang dikerjakan oleh Johanes dan tim ini memakan waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar satu tahun lebih. Sutradara Rian Johnson pun kerap berinteraksi langsung dengannya untuk memberikan masukan setiap dua atau tiga hari sekali.
“Dia suka ini, ini kurang ini, ini rasanya kurang menarik, ini rasanya kurang eksyen, dia bisa langsung on the spot kasih note dan saya distribute ke timnya,” papar lulusan Institut Kesenian Jakarta jurusan fotografi dan sinematografi ini.
Sebagai penggemar film-film fantasi, Johanes merasa senang bisa ikut terlibat dalam penggarapan film Star Wars. Namun, ia sadar bahwa tantangannya amat berat, mengingat tingginya antusiasme para fans yang sudah tumbuh sejak film ini pertama kali dirilis pada tahun 1977.
“Expectation-nya tinggi sekali dan semuanya merasakan pressure itu, bukan cuman saya. Tapi kayaknya tim kita bagus sekali dan semuanya saling membagi pressure itu dengan baik. Jadinya kita enggak merasa stress yang keterlaluan gitu,” tutur lulusan Institut Kesenian Jakarta jurusan fotografi dan sinematografi ini.
Untuk mendalami pekerjaannya kali ini, Johannes dan tim terlebih dahulu mempelajari film-film Star Wars dari berbagai zaman, juga beragam gambar yang pernah digarap oleh perusahaannya sendiri dan juga perusahaan lain.
“Jadinya kita lebih familiar sama dunia star wars,” kata Johanes yang sudah bermukim di Amerika sekitar sepuluh tahun lamanya.
Merupakan sebuah kepuasan tersendiri bagi Johanes ketika bisa melihat hasil karyanya di layar lebar, walaupun pada awalnya ia merasa hasilnya masih kurang sempurna.
“Tapi begitu lihat di bioskop rasanya lumayan puas. Rasanya, that’s pretty high quality,” katanya lega.
Jerih payah dan kerja keras seperti terbayarkan rasanya ketika mengetahui film Star Wars: the Last Jedi ini berhasil meraih empat nominasi OSCAR di ajang Academy Awards 2018, juga nominasi di ajang Visual Effects Society Awards untuk kategori sinematografi virtual terbaik khusus untuk rangkaian adegan hasil karya Johanes dan tim, yang fokus pada pertempuran di planet Crait atau “Battle of Crait.”
“Kita bangga sekali. Saya senang sekali sama tim ini,” ungkap Johanes dengan gembira.
Tak pernah terbesit dalam benak Johanes dan tim bahwa mereka bisa meraih nominasi bergengsi ini. Bagi mereka kerja keras untuk menyelesaikan film ini adalah tujuan utama.
“Jadinya ya hasilnya dilihat orang, disukai orang, sangat menyenangkan, sangat membanggakan juga,” lanjut Johanes.
Menembus Industri Film di Amerika
Hingga kini Johanes sudah pernah sedikitnya sembilan kali terlibat dalam penggarapan film Hollywood Blockbuster, dimana tiga diantaranya dilakukan setelah Johanes menjabat sebagai supervisor di Industrial Light and Magic.
“Yang saya garap sebagai lead atau supervisor itu baru tiga. Star wars yang terakhir, sebelumnya Deepwater Horizon, film (kilang minyak) yang kebakar itu di teluk Meksiko, terus yang pertama itu Warcraft,” cerita Johanes.
Bagi Johanes, film Deepwater Horizon yang diangkat dari kisah nyata dan dibintangi oleh aktor kawakan Mark Wahlberg ini meninggalkan kesan tersendiri dalam perjalanan karirnya. Bersama timnya ia dipercaya untuk mengerjakan bagian terpenting dalam film itu, yaitu menciptakan kembali kilang minyak yang menjadi fokus utama.
“Menurut saya itu sesuatu yang lumayan memuaskan sebagai artis ya, melihat karyanya sebagai the main attraction di movie itu,” tambahnya lagi.
Sebelum menekuni profesi sebagai seorang Generalist, Johanes pernah menjadi Digital Artist dan juga pernah mengerjakan beragam efek visual untuk film-film Box Office seperti Captain America: the Winter Soldier, Noah, Percy Jackson: Sea of Monsters, Pacific Rim, The Lone Ranger, Star Trek: Into Darkness, dan the Girl with the Dragon Tattoo.
“Saya awalnya justru bikin effects, kayak bikin explosion. Tahun kedua tertarik untuk jadi Generalist, jadi pindah ke tim Generalist. Tapi dari pertama enggak sebagai supervisor,” papar pria yang hobi fotografi ini.
Tidak hanya mengerjakan film-film layar lebar, tetapi Johanes juga banyak terlibat dalam penggarapan film-film untuk wahana di taman hiburan.
“Kalau misalnya ke Universal Studio, terus naik Transformers ride, itu filmnya kadang-kadang (Industrial Light & Magic) yang buat,” kata penggemar pempek ini.
Johanes sendiri mengaku mendapatkan ilmu di bidang film ini secara otodidak dengan belajar melalui pekerjaan yang ia tekuni selama berkarir.
“Jadinya dari pekerjaan, sedikit mulai sedikit saya bikin demo reel. Setiap tahun pasti ada tambahan beberapa keahlian baru,” kenang Johanes yang juga pernah bekerja di Blur Studio, Los Angeles sebagai pembuat trailer untuk video game atau disebut sebagai game cinematic ini.
Terlebih lagi di era teknologi seperti sekarang ini, menurutnya telah mempermudah orang untuk mempelajari bidang yang ia tekuni secara otodidak melalui online.
Bagi yang ingin mengikuti jejak karirnya, Johanes menganjurkan untuk mempersiapkan portfolio atau demoreel yang sesuai dengan gaya perusahaan yang dituju.
“Kalau mau masuk Pixar, demo reel-nya cobalah yang kartun, yang lucu-lucu, yang very bright, very happy. Kalau mau masuk ke WETA atau (Industrial Light & Magic), mungkin yang lebih realistis,” pesan Johanes.
Selain itu Johanes juga berpesan agar jangan cepat puas dengan portfolio yang dimiliki, mengingat betapa ketatnya persaingan di industry ini.
“Jadinya target kamu harus setinggi mungkin. Kalau di published ke Internet banyak respon yang positif,” tambahnya lagi.
Tidak lupa ia mengingatkan untuk selalu menikmati proses perjalanan karir yang diminati.
“Itu penting sekali. Maksudnya, ini pasti akan mengalami banyak rejection, banyak ups and down. Jadi ya try to enjoy the process,” ujarnya menutup wawancara. [di]