China telah menarget warga negaranya yang belajar di luar negeri atas aktivisme politik mereka, kata kelompok HAM Amnesty International (AI), Senin (13/5). Sejumlah mahasiswa melaporkan kekerasan terjadi terhadap anggota keluarga mereka di kampung halaman.
China tidak memberi toleransi untuk perbedaan politik dan telah menggunakan peralatan teknologinya yang canggih serta intimidasi untuk menekan demontran dan aktivis domestik.
Dan pembatasan China atas aktivisme politik telah meluas dengan cepat ke luar negeri, dalam bentuk “tekanan lintas negara”, kata Amnesty International dalam sebuah laporan. Lembaga ini mengutip wawancara dengan puluhan mahasiswa di delapan negara Eropa dan Amerika Utara.
Mahasiswa di perantauan melaporkan bahwa anggota keluarga mereka di China menerima ancaman setelah mereka mengikuti acara-acara di negara di mana mereka berkuliah, termasuk acara peringatan pembantaian berdarah di Alun-Alun Tiananmen 1989, menurut AI.
“Ancaman diberikan kepada anggota keluarga mereka di China daratan, termasuk untuk menarik paspor, membuat mereka dipecat dari pekerjaan, mencegah mereka menerima promosi dan tunjangan pensiun, atau bahkan membatasi kebebasan fisik mereka,” ujar AI.
Para mahasiswa juga mengatakan, bahwa mereka telah diblokir dari mengunggah dan memantau di aplikasi media sosial China, yang kadang menjadi satu-satunya cara berkomunikasi dengan anggota keluarga mereka, karena pembatasan internet di negara itu.
Salah satu mahasiswa mengatakan kepada AI, bahwa polisi menunjukkan kepada orang tuanya “transkrip perbincangan daringnya dengan anggota keluarga melalui aplikasi percakapan WeChat.”
Ditanya mengenai laporan AI pada Senin, Kementerian Luar Negeri China mengesampingkan laporan itu dan menyebutnya “fitnah jahat semata.”
“Setiap media yang objektif akan mengungkapkan bahwa mayoritas warga negara China yang tinggal di luar negeri, merasa bangga akan kekuatan dan pembangunan tanah airnya,” kata juru bicara kementerian ini, Wang Wenbin.
Namun, China sebelumnya telah menolak klaim bahwa mereka menarget warga negaranya yang tinggal di luar negeri. Mereka bersikukuh menghormati kedaulatan negara lain dan bahwa setiap operasi kepolisian dilakukan sesuai dengan hukum.
Sebuah laporan tahun lalu oleh kelompok riset Amerika Serikat, Freedom House, menemukan bahwa China bertanggung jawab atas ratusan kasus “tekanan lintas negara” sejak 2014, termasuk upaya untuk menekan negara-negara lain agar memulangkan dengan paksa anggota suku minoritas Uighur.
AI pada Senin mengatakan, penargetan para mahasiswa oleh China telah “menimbulkan iklim ketakutan” di kampus-kampus universitas seluruh Eropa Barat dan Amerika Utara, yang berdampak negatif terhadap hak asasi para mahasiswa itu.
“Dampak dari tekanan lintas negara oleh China menimbulkan ancaman serius kepada kebebasan bertukar pemikiran, yang menjadi jantung dari kebebasan akademik,” kata Sarah Brooks, direktur Amnesty International China. [ns/uh]