Sebuah laporan baru menuduh sebuah perusahaan China melakukan deforestasi ilegal di Kongo, namun terdapat perdebatan mengenai negara mana yang harus bertanggung jawab.
Selama periode enam bulan tahun lalu, perusahaan bernama Congo King Baisheng Forestry Development (CKBFD) mengekspor sekitar 30 juta kilogram kayu keras senilai $5 juta (hampir Rp80 miliar) yang ditebang secara ilegal ke konglomerat kayu Wan Peng melalui Pelabuhan Zhangjigang. Demikian menurut temuan pengawas lingkungan Global Witness dalam laporannya.
Kementerian Lingkungan Hidup Kongo tidak menanggapi pertanyaan mengenai temuan tersebut, sementara Kedutaan Besar China di Washington DC menekankan bahwa China “sangat mementingkan perlindungan lingkungan.” Kedutaan menolak mengomentari kasus yang dimaksud.
“Namun perlu disampaikan bahwa pemerintah China selalu menginstruksikan perusahaan-perusahaan China di luar negeri untuk mematuhi hukum dan peraturan setempat. Itu adalah sikap konsisten kami,” kata juru bicara kedutaan melalui email kepada VOA.
BACA JUGA: China dan Rusia Peringatkan bahwa Kekuatan Asing Sedang Picu Kekacauan di AsiaMeski demikian, laporan Global Witness tersebut memperjelas bahwa meskipun di atas kertas ada undang-undang yang melarang konsesi penebangan kayu di Kongo, undang-undang tersebut sering kali diabaikan.
Sejak tahun 2002 pemerintah Kongo telah memberlakukan moratorium terhadap penebangan hutan baru di Kongo karena adanya korupsi di sektor itu, kata Global Witness. “Walaupun demikian, sebagian besar hutan masih terus dialokasikan kepada para penebang, melanggar hukum negara itu sendiri.”
Laporan tersebut juga menunjukkan fakta bahwa pada bulan April 2022 pemerintah Kongo menangguhkan lima perjanjian konsesi yang telah diberikan kepada CKBFD, namun penebangan terus berlanjut di sedikitnya dua area konsesi tersebut. Semenjak penangguhan itu, dari bulan Juni hingga Desember, perusahaan tersebut menghasilkan $5 juta dalam bentuk kayu ekspor, katanya.
“Pemerintah China selalu mengimbau perusahaan-perusahaannya untuk mematuhi hukum, namun kenyataannya, hukum tidak selalu dipatuhi, terutama di negara-negara dengan tata kelola pemerintahan yang lemah. Di negara-negara seperti Kongo, undang-undang seringkali bisa dinegosiasikan dengan suap,” kata Yun Sun, direktur program China di Stimson Center, kepada VOA. [lt/rd]