Sekitar 600 personil tentara – yang terdiri dari satu kompi TNI Angkatan Darat Batalyon Komposit 1 Gardapati, satu kompi gabungan TNI Angkatan Laut dari personil Lanal Ranai, personil KRI Teuku Umar 385 dan KRI Tjiptadi 381, Satgas Komposit Marinir Setengah dan satu kompi TNI Angkatan Udara dari Lanud Raded Sadjad dan Sastrad 212 Natuna – mengikuti apel gelar pasukan di Paslabuh, Selat Lampa, Ranai, Natuna, hari Jumat (3/1).
Apel yang dipimpin Panglima Komando Wilayah Pertahanan I (Pangkogabwilhan I) Laksamana Madya Laksda TNI Yudo Margono ini merupakan bagian dari upaya TNI memperketat pengawasan di perairan Natuna pasca terjadinya penangkapan ikan secara ilegal dan pelanggaran hukum laut lainnya oleh China.
“Kali ini mereka (kapal nelayan dan kapal penjaga pantai China.red) justru lebih masuk ke dalam lagi. Yang dulu hanya di luar landas continent, nah rombongan yang tadi pagi kita deteksi ada di dalam atau di selatan landas continent kita sehingga perlu kita ambil tindakan tegas segera untuk para pelanggar di laut atau penangkapan secara ilegal. Tentunya operasi ini tidak berjalan sehari dua hari, tetapi bisa berhari-hari," papar Yudo.
TNI Kerahkan Sejumlah Alutsista
Lewat Twitter, Pusat Penerangan TNI mencuit bahwa operasi ini dilakukan untuk “menjaga wilayah kedaulatan Indonesia dari pelanggar negara asing.”
Sebelum memimpin apel itu di Natuna, Yugo mengatakan sejumlah alat utama sistem persenjataan (alutsista) kini dalam posisi siaga tempur untuk menjaga kedaulatan NKRI di perairan Natuna, propinsi Kepulauan Riau. Alutsista yang disiapkan adalah tiga KRI (kapal perang RI.red), satu pesawat intai maritim dan satu pesawat Boeing TNI AU.
Pakar Hukum Internasional Luruskan Persepsi yang Salah dalam Krisis di Natuna
Namun pengamat hukum internasional di Universitas Indonesia Prof. Dr. Hikmahanto Juwana mengatakan ada hal yang perlu diluruskan dalam krisis di Natuna ini. “Di dalam masyarakat dan berbagai media dipersepsikan bahwa pasukan penjaga pantai China memasuki wilayah kedaulatan Indonesia, padahal persepsi demikian tidak benar,” ujarnya kepada VOA.
Menurutnya kapal-kapal nelayan dan kapal pasukan penjaga pantai China memasuki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif ZEE Indonesia di Natuna Utara. “Keberadaan ZEE tidak berada di laut territorial, tetapi di laut lepas (high seas). Di laut lepas ini tidak dikenal konsep kedaulatan negara dan karenanya negara tidak boleh melakukan penegakan kedaulatan. Dalam konsep ZEE, sumber daya alam yang ada di dalam ZEE diperuntukkan secara eksklusif bagi negara pantai. Ini disebut hak berdaulat atau sovereign right,” ujar Hikmahanto.
BACA JUGA: Pakar: Indonesia Tak Perlu Negosiasi dengan China soal Natuna UtaraPakar hukum internasional yang menyelesaikan program doktoralnya di University of Nottingham, Inggris ini menggarisbawahi bahwa “dalam konteks yang dipermasalahkan di Natuna Utara adalah hak berdaulat – berupa ZEE – dan sama sekali bukan kedaulatan. Dengan demikian situasi di Natuna Utara bukan situasi akan perang karena pelanggaran kedaulatan Indonesia.”
Hikmahanto: Klaim China Sama Sekali Tak Berdasar
Sementara menyoal klaim China tentang “sembilan garis putus” yang berada di tengah Laut Cina Selatan dan menjorok masuk ke ZEE Natuna Utara, menurut Hikmahanto “sama sekali tidak berdasar.”
“Hal ini telah ditegaskan dalam putusan Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016 dalam sengketa Filipina melawan China. Sembilan garis putus yang diklaim China tidak jelas koordinatnya. Bahkan pemerintah China kadang menyebutnya sembilan, sepuluh, bahkan sebelas garis putus. China tidak mengakui klaim Indonesia atas ZEE Natuna Utara karena merasa memiliki kedaulatan atas Pulau Nansha yang berada di dalam sembilan garis putus dan menganggap pulau tersebut memiliki perairan sejenis ZEE, yang oleh China disebut sebagai ‘traditional fishing grounds’ (perairan perikanan tradisional.red),” jelas Hikmahanto.
Lebih jauh dijelaskannya bahwa dalam UNCLOS (United Nations Convention for the Law of the Sea atau Konvensi Hukum Laut PBB], yang dikenal adalah Traditional Fishing Rights atau hak menangkap ikan secara tradisional, bukan Traditional Fishing Grounds atau perairan perikanan tradisional, sebagaimana di atur dalam Pasal 51 UNCLOS 1982.
Hal ini juga sudah berulangkali ditegaskan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
"Indonesia tidak akan pernah mengakui nine dash line (sembilan garis putus.red), klaim sepihak, yang tidak memiliki landasan hukum atau diakui hukum internasional, terutama UNCLOS 1982," tandas Retno.
Kawasan perairan Natuna terletak sekitar 1.100 kilometer selatan Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan, wilayah yang diklaim oleh China, Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam. [em/jm]