Di AS, tahun ajaran baru ini dibuka dengan kehadiran murid-murid untuk mengikuti pelajaran langsung di kelas. Namun setelah berbulan-bulan mengikuti kelas online dan interupsi pelajaran karena pandemi COVID-19, orang tua dan guru mengkhawatirkan terjadinya COVID slide.
Ini kondisi yang diduga lebih parah daripada summer slide, ketika murid-murid tertinggal secara akademis setelah beberapa waktu tidak mengikuti pelajaran di kelas karena liburan musim panas. Seperti apa COVID slide di AS dan bagaimana sekolah serta orang tua murid menghadapinya?
“Sampai satu bulan itu banyak hari yang tidak ada kelasnya. Karena set up di sekolahnya berantakan, guru-gurunya tidak banyak paham dengan teknologi sehingga aku sebagai orang tua khawatir, ini sekolah atau tidak, jadi proses belajar mengajar sudah agak kacau.”
Pernyataan ini mencuat dari Indah Dianti Kusuma, ibunda Justin Arif Partin, murid program gifted (anak berbakat) kelas 12 di Mc Kinley High School di Baton Rouge, Louisiana.
Firzah Hasan, ibu rumah tangga di Maryland, memiliki dua anak, Ridho Hamdani, murid kelas 4, dan Bushthon Hamdani, murid kelas 1. Ia mengemukakan bagaimana situasi kelas anak-anaknya pada awal tahun ajaran baru ini.
“Anak-anak lupa be patient, untuk antre dan sebagainya, jadi mereka dilatih lagi dari awal.”
Rachel Waldrop, guru matematika kelas 6 di Glasgow Middle School di East Baton Rouge, melihat apa yang dikhawatirkan orang tua dan pendidik.
“Foundation mereka agak berantakan sekarang. Kita selalu ada diagnostic test pada awalnya, dan kita bisa lihat slide-nya.”
Kekhawatiran dan keprihatinan seperti itu masih mencuat sewaktu banyak negara bagian di AS memulai tahun ajaran baru pada Agustus lalu. Mereka prihatin mengenai dampak COVID slide pada anak-anak sekolah. Ini istilah yang mengacu pada summer slide, kecenderungan para siswa kehilangan sebagian dari pengetahuan yang telah dicapai pada tahun ajaran sebelumnya setelah liburan musim panas. COVID didapati memperparah summer slide.
Pandemi, yang membuat banyak murid di AS belajar secara online atau mengikuti kelas hibrida (bergantian mengikuti kelas tatap muka langsung dan online) sangat mengganggu proses belajar mengajar. Selain keterlambatan sekolah dalam menyiapkan guru, murid dan sistem belajar online, hampir setiap hari jumlah murid yang masuk kelas berubah-ubah karena ada saja yang terpapar virus corona. Orang tua seperti Firzah, yang memiliki anak-anak berusia muda, juga menyatakan betapa ia mengalami kesulitan mengawasi maupun membimbing mereka belajar online.
Laporan paling akhir yang dikeluarkan April 2020 oleh organisasi riset nirlaba Amerika Northwest Evaluation Association (NWEA) yang mendukung pelajar dan pendidik, menunjukkan kecenderungan mengenai kemunduran akademik itu. Sewaktu kembali ke kelas pada tahun ajaran 2020-2021, para pelajar diperkirakan hanya dapat mempertahankan 70 persen kemampuan membaca dari hasil belajar tahun ajaran sebelumnya, dan kurang dari 50 persen kemampuan matematika mereka. Hal lain yang diamati adalah kurangnya disiplin di ruang kelas dan kemampuan bersosialisasi mereka.
Rachel punya contoh nyata. Ia seharusnya sudah mulai mempersiapkan murid-muridnya untuk pelajaran kelas 7.
“Ekspektasinya untuk kelas 6, seharusnya mereka sudah fluent (lancar) untuk multiplication (perkalian), pembagian, tentang pecahan, kan. Karena kita mulai belajar tentang integer, ratio ketika kita mulai kelas 6.”
Tetapi pada kenyataannya, karena landasan matematika mereka lebih rendah daripada yang seharusnya, Rachel menyatakan sekarang ini agak susah untuk menerapkan pelajaran yang lebih rumit.
Dalam hal membaca, ia mengatakan bahwa murid-muridnya banyak yang bermasalah dalam memahami dan mengartikan soal cerita ke bahasa matematika. Padahal kemampuan membaca seperti ini juga diperlukan dalam memahami berbagai mata pelajaran lainnya.
Sementara itu mengutip anaknya, Indah mengatakan pada hari-hari pertama masuk sekolah, “Saya tanya kamu belajar apa tadi. ‘Ah, nggak nambah, yang lama hilang, yang sekarang nggak nambah.’ Saya khawatir sekali. Tapi saya terus berusaha bilang, coba lihat schedule sekolahnya apa saja, coba dibaca-baca lagi yang lalu, coba tanya-tanya ke guru.”
Ini salah satu upaya yang dilakukan orang tua untuk mengatasi "COVID slide". Dari sekolah sendiri tersedia berbagai program. Misalnya Westowne Elementary School, tempat anak-anak Firzah belajar, memiliki beberapa program yang membantu agar kemampuan akademik murid-muridnya tidak tertinggal jauh. Ia menyebutkan beberapa contoh, di antaranya,
“Ada kelas tambahan, seperti matematika dan membaca. Saya juga mencari informasi mengenai kelas-kelas tambahan dari perpustakaan.”
BACA JUGA: Guru di India Ubah Jalan Jadi Ruang Kelas untuk Anak-Anak DesaSelain itu, ada juga program study buddy, kakak kelas yang menghubungi adik kelas untuk belajar bersama secara online dan summer camp. Namun kamp musim panas yang diselenggarakan sekolah tersebut, tahun ini dilewatkan Firzah karena ia memilih mengikutkan kedua putranya pada kamp untuk belajar Islam.
Sementara itu Rachel punya beberapa cara untuk membantu murid-muridnya. Ia secara bertahap mengulangi materi pelajaran yang telah diberikan sebelumnya, menggunakan game, atau memberi sistem imbalan yang menarik apabila murid-muridnya berhasil mencapai suatu target atau sasaran tertentu pada suatu hari sekolah.
Dampak kehilangan masa sekolah bukan hanya dirasakan sekarang saja. Mengacu pada suatu makalah yang kerap dikutip dan dimuat oleh Journal of Labour Economics terbitan tahun 2019, disebutkan bahwa kehilangan 80-90 hari sekolah semasa anak-anak akan berdampak negatif pada penghasilan mereka sewaktu berusia 30-an tahun. Karena itu, tidak mengherankan apabila orang tua dan guru berusaha berbuat apapun untuk mengatasi COVID-slide. [uh/ab]