Dampak krisis iklim yang semakin kentara tampaknya kini semakin dirasakan langsung oleh banyak pihak terbukti dengan cuaca panas yang menerjang berbagai wilayah baik di dalam maupun luar negeri dalam beberapa waktu terakhir.
Peneliti Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari mengatakan fenomena cuaca yang dirasakan semakin panas akhir-akhir ini diyakini sebagai dampak dari semakin parahnya krisisnya iklim.
“Misalkan kalau kita berbicara soal banjir, curah hujan semakin tinggi dan semakin sering karena si krisis iklim tadi. Sama halnya dengan cuaca panas ini, memang pancaroba pasti cuaca kita panas, tapi dengan krisis iklim ini akan semakin diperparah kenaikan suhu. Kemarin Kepala BMKG sudah bilang bahwa berdasarkan catatan BMKG, (kenaikan suhu) 1,5 derajat celcius sudah dicapai di Jakarta, padahal seharusnya tercapainya itu masih 2030,” ungkap Adila kepada VOA.
BACA JUGA: Warga Dieng Tolak Pengembangan PLTP Geodipa EnergiPantauan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1 hingga 7 Mei lalu, suhu maksimum di wilayah Indonesia mencapai 33 hingga 36,1 derajat celsius.
Adapun suhu tertinggi yang mencapai 36,1 derajat celcius tercatat di wilayah Tangerang, Banten, dan Kalimarau di Kalimantan Utara.
Emisi dari kebakaran hutan dan masih bergantungnya Indonesia terhadap penggunaan energi kotor, menurut Adila, menjadi faktor utama penyebab krisis iklim di dalam negeri.
Your browser doesn’t support HTML5
Berdasarkan Nationally Determined Contribution (NDC), sektor energi di Indonesia menjadi penyumbang gas emisi rumah kaca terbesar di tahun 2030 mendatang, tambahnya. Hal ini dikarenakan 88 persen energi listrik yang digunakan berasal dari pembakaran bahan bakar fosil terutama batu bara.
“Dan kondisi ini masih akan terjadi sampai 2030, dimana kita masih akan didominasi batu bara, karena 59 persen energi listrik kita di 2030 masih berasal dari pembakaran batu bara yang emisinya paling tinggi dibandingkan dengan fossil fuel lainnya seperti gas, oil. Jadi memang kalau kita bicara soal apakah Indonesia on track dalam mengurangi emisi gas rumah kacanya sesuai dengan rekomendasi global, memang jauh banget Indonesia ini,” kata Ghita.
Sejak awal tahun ini, Indonesia berulang kali menyatakan komitmennya untuk beralih menuju penggunaan energi terbarukan. Walaupun mengakui kompleksitas peralihan menuju energi terbarukan, Presiden Joko Widodo menyatakan akan menggunakan presidensi G20 untuk memperkuat komitmen transisi di bidang energi.
Jika pemerintah tidak bertindak sesegera mungkin, Adila memperingatkan dampak kerugian ekonomi yang cukup besar yang dapat timbul akibat krisis iklim.
“Berdasarkan modelling dari Bappenas juga ternyata krisis iklim ini, akan menyebabkan kerugian sebesar Rp544 triliun dari kurun 2021-2025. Dan yang paling besar kerugiannya adalah di sektor pesisir yang mana adanya kenaikan muka air laut. Jadi selain Indonesia menjadi penyumbang terbesar ya seharusnya kita juga sadar diri karena kita sangat rentan dengan krisis iklim dan kerugian ekonominya bahkan lebih besar,” pungkasnya.
BMKG: Fenomena Cuaca Menuju Musim Kemarau
Sementara itu, dalam pesan yang diterima oleh VOA, Guswanto, Deputi Bidang Meteorologi BMKG, menjelaskan fenomena suhu udara terik yang terjadi pada belakangan ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, katanya posisi semu matahari saat ini sudah berada di wilayah utara ekuator yang mengindikasikan bahwa sebagian wilayah Indonesia akan mulai memasuki musim kemarau, dimana tingkat pertumbuhan awan dan fenomena hujannya akan sangat berkurang, sehingga cuaca cerah pada pagi menjelang siang hari akan cukup mendominasi.
BACA JUGA: Indonesia Gunakan Presidensi G20 untuk Perkuat Komitmen Transisi Energi“Kemudian, dominasi cuaca yang cerah dan tingkat perawanan yang rendah tersebut dapat mengoptimalkan penerimaan sinar matahari di permukaan bumi, sehingga menyebabkan kondisi suhu yang dirasakan oleh masyarakat menjadi cukup terik pada siang hari,” ungkapnya.
BMKG mencatat bahwa dalam empat sampai lima tahun terakhir, suhu maksimum yang pernah tercatat di Indonesia berada pada angka 38,8 derajat celsius. Rekor tersebut tercatat di Palembang pada 2019 lalu.
Ia menekankan suhu panas terik yang terjadi saat ini di Indonesia bukanlah fenomena gelombang panas. Berdasarkan World Meteorogical Organization (WMO), gelombang panas atau heatwave merupakan fenomena kondisi udara panas yang berkepanjangan selama lima hari atau lebih secara berturut-turut dimana suhu maksimum harian lebih tinggi dari suhu maksimum rata-rata hingga lima derajat celcius atau lebih.
“Kewaspadaan kondisi suhu panas pada siang hari masih harus diwaspadai hingga pertengahan Mei,” tutur Guswanto. [gi/rs]