Setidaknya dalam satu tahun terakhir, topik mengenai rencana ekspansi Indonesia pada kendaraan listrik telah menjadi salah satu pembicaraan hangat publik yang terus bergulir.
Pemerintah telah menunjukan keseriusannya untuk ambil bagian dalam ekosistem industri kendaraan listrik. Upaya tersebut tercermin dari sejumlah langkah yang diambil, mulai dari instruksi presiden untuk menggunakan kendaraan listrik pada kegiatan operasional pemerintah hingga pertemuan langsung antara presiden Joko Widodo dengan CEO perusahan otomotif Tesla Elon Musk pada pertengahan tahun ini di mana keduanya berdiskusi mengenai kemungkinan kerja sama di masa depan.
Keyakinan pemerintah untuk dapat ambil bagian dalam ekosistem kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) di tingkat global juga didasari oleh ketersediaan sumber daya alam di dalam negeri. Jokowi, panggilan akrab sang presiden, meyakini bahwa sumber daya alam lokal yang tersedia mampu menunjang ambisi pemerintah untuk mengambil peran penting dalam ekosistem kendaraan listrik global.
“Membangun ekosistem EV baterai itu kita hanya kurang litium, gak punya. Saya kemarin sudah sampaikan ke PM Albanese, Australia punya litium, kita boleh beli dong dari Australia, terbuka silahkan. Ini strategis, benar melakukan intervensi seperti itu. sehingga ekosistem besar yang ingin kita bangun jadi,” ungkap Jokowi pada Jumat (2/12) lalu.
Ambisi Jokowi untuk ambil bagian dalam ekosistem kendaraan listrik tersebut sejalan dengan upaya pemerintahannya untuk melakukan hilirisasi industri dari bahan tambang mineral, dengan memperkuat industri pengolahan nikel, yang menjadi bahan baku pembuatan baterai EV.
Alasan lain yang dikemukakan pemerintah dalam ekspansinya pada industri kendaraan listrik adalah penekanan emisi gas rumah kaca dan transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan.
Namun, Jokowi sadar betul akan jalan terjal yang pemerintahannya hadapi untuk mewujudkan rencana ekspansi tersebut. Lokasi ketersediaan sejumlah komponen untuk pembuatan baterai EV yang tersebar di sejumlah wilayah membuat integrasi menjadi pekerjaan rumah utama bagi pemerintah.
“Mengintegrasikan ini sebuah barang yang tidak gampang sehingga menjadi sebuah ekosistem itu. Inilah yang terus saya mati-matian ini harus jadi karena inilah yang akan melompatkan kita meloncati menuju ke peradaban yang lain,” tuturnya.
Menurutnya, jika ekosistem kendaraan listrik terintegrasi dengan baik di Indonesia, maka bukan tidak mungkin akan banyak produsen kendaraan listrik dunia bergantung kepada EV baterai buatan Indonesia.
“Kalau ini jadi, percaya saya, perkiraan saya 2026-2027 kita sudah kelihatan lompatannya, akan berbondong-bondong masuk, karena industri otomotif ke depan baik itu sepeda motor listrik, baik itu mobil listrik itu akan menggantikan mungkin lebih dari 50 persen dari demand dari pasar yang ada.”
“Ini yang harus kita tangkap. Begitu ini jadi, saya kemarin hitung-hitungan berapa sih? 60 persen mobil listrik, kendaraan listrik akan bergantung kepada EV baterai (buatan) kita. Inilah, kekuatan besar kita nanti,” jelasnya.
WALHI: Kendaraan Listrik Sama Sekali Tidak Ramah Lingkungan
Alasan pemerintah yang mengungkapkan rencana ekspansi kendaraan listriknya agar Indonesia menjadi lebih ramah lingkungan ditolak oleh para aktivis pemerhati lingkungan.
Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Fanny Tri Jambore atau yang akrab disapa Rere mengatakan kendaraan listrik tidak bisa dianggap sebagai bagian dari transisi energi yang lebih ramah lingkungan.
Rere menjelaskan siklus produksi baterai kendaraan listrik hingga ke tahap pengisian daya listrik bagi kendaraan listrik masih menghasilkan emisi gas rumah kaca yang sangat tinggi. Ia mencontohkan kegiatan penambangan nikel yang masih berkontribusi besar pada emisi gas rumah kaca.
Rere mengatakan bahwa WALHI mencatat saat ini pemerintah Indonesia telah mengeluarkan izin konsesi penambangan nikel seluas 900 ribu hektare lahan. Dari jumlah luasan tersebut, sebanyak 600 ribu hektare diantaranya merupakan kawasan hutan.
“Artinya kalau kemudian seluruh kawasan hutan dibuka karena dia sudah diberikan kepada konsesi pertambangan nikel, jadi dia punya potensi untuk kemudian dibuka semua, itu tentu akan menaikkan gas emisi rumah kaca karena kita tahu cadangan besar karbon itu ada di dalam kawasan hutan,” ungkapnya kepada VOA pada Selasa (6/12).
Selain di kawasan hutan, konsesi pertambangan nikel katanya juga berada di wilayah pesisir atau kawasan mangrove, dan juga perkebunan masyarakat. Dalam hitungan WALHI, apabila konsesi pertambangan nikel seluas 900 ribu hektare tersebut dibuka, maka setidaknya akan ada 83 juta ton karbon dioksida (CO2) yang dikeluarkan.
Sementara itu, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pengisian daya listrik untuk kendaraannya juga tidak kalah tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh sekitar 80 persen pembangkit listrik di Indonesia yang masih berbasis energi fosil.
“PLN sendiri mencatat di 2021 kemarin, total emisi yang dihasilkan dari pembangkit listrik mereka sekitar 259 juta ton. Dan akan terus meningkat sampai 334 juta ton di tahun 2030. Jadi kalau kemudian membayangkan bahwa kendaraan listrik itu adalah bagian dari transisi energi yang ditujukan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, itu gak akan sampai ke sana. Perubahan produksi dan moda transportasi semata, tapi tidak akan menuju kepada transisi energi alih-alih menurunkan emisi gas rumah kaca,” tegasnya.
Menurutnya ada berbagai cara yang bisa ditempuh oleh pemerintah untuk bisa menciptakan ekosistem kendaraan listrik tanpa merusak lingkungan. Salah satunya adalah dengan tidak memberikan izin konsesi besar-besaran untuk pertambangan nikel.
“Dari produksi nikel yang ada sekarang, upaya untuk mendaur ulang dari baterai itu akan menurunkan kebutuhan bijih nikel yang ditambang, sehingga tidak harus semua wilayah di Indonesia dilakukan atau dibuka pertambangan,” kata Rere.
Pemerintah, menurut Rere, sudah seharusnya tidak memasukkan wilayah hutan, kawasan pesisir ke dalam wilayah konsesi pertambangan agar tidak menimbulkan masalah baru terutama keselamatan masyarakat sekitar. Ia mencatat sudah banyak masyarakat yang terdampak akibat adanya pertambangan nikel tersebut.
“Di Pulau Obi, Maluku Utara satu pulau yang tidak terlalu luas sekarang dibebani oleh sekitar lima izin konsesi nikel disana mengakibatkan sumber-sumber mata air masyarakat di sana mengalami kerusakan, bahkan ada desa yang bernama Desa Kawawi salah satu desa tertua di Pulau Obi, itu masyarakatnya sudah tidak bisa memakai sumber mata air, sehingga mereka harus beli dari luar air,” tuturnya.
Faktor Lingkungan Menjadi Sangat Penting
Sementara itu, ekonom INDEF Eko Listyanto memahami ambisi pemerintah untuk bisa menjadi pemain utama produsen EV Baterai di tingkat global. Meski begitu, ia menggarisbawahi bahwa tantangan yang akan dihadapi tentu tidak mudah. Menurutnya negara-negara lain diprediksi akan bisa menekan Indonesia dengan cara non tradisional.
“Salah satunya yang pernah dilakukan Elon Musk adalah ‘bukan saya gak mau beli dari anda, tapi karena produk anda harus dipastikan dulu seperti harus ramah lingkungan dan lain-lain.’ Itu yang diserang kan disitu. CPO juga sama, di satu titik kita penghasil CPO terbesar di dunia, tapi begitu mau masuk pasar negara maju dihabisi dari sisi lingkungan, itu kan sebetulnya kalau ditarik dalam benang merah di ekonomi mereka gak mau terima karena takut mengancam produk dari mereka sendiri,” ujar Eko kepada VOA, merujuk pada produk Crude Palm Oil (CPO) atau minyak sawit mentah.
Your browser doesn’t support HTML5
Maka dari itu, ia menyarankan kepada pemerintah untuk memastikan proses tata kelola dalam pembuatan bahan baku baterai EV haruslah menghargai aspek-aspek yang dikampanyekan negara-negara maju termasuk dari aspek lingkungan untuk mendapatkan kepercayaan dari pasar dunia.
“Ketika kita ingin menghapus keraguan itu ataupun complaint terhadap governance karena begitu yang di-launching adalah produk misalkan motor atau mobil listrik, itu pasti kampanye utamanya ini adalah sustainable, ramah lingkungan dan lain-lain, dan itu yang harus dibuktikan.”
“Jadi kita harus membuktikan bahwa kita sangat pro terhadap lingkungan walaupun tadi kita menggunakan nikel dan lain, kan itu mungkin akan ada caranya bagaimana sih untuk tetap bisa ramah lingkungan sesuai standar internasional. Kalau standarnya masuk ya pasti mereka mau terima,” pungkasnya. [gi/rs]