Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof Amin Soebandrio, meminta seluruh pihak untuk tidak panik terkait mutasi virus Covid 19. Perkembangan apapun terkait virus tersebut selalu berada di bawah pengawasan lembaga ini. Sejak Januari 2020 lalu, Lembaga Eijkman telah meneliti virus dari lokasi asalnya, yaitu Wuhan, China. Setelah itu, hingga Agustus dan September tahun ini, Eijkaman juga sudah mencatat ada perubahan atau pola mutasi virus yang diisolasi pada waktu itu.
“Saat ini, kami sedang dalam proses untuk mempelajari virus-virus di bulan November- Desember agar mendapatkan data lebih terkini. Termasuk yang berkaitan dengan virus mutasi di Inggris ini. Sehingga kalau memang sudah ada, maka kita bisa menentukan tindakan-tindakan apa yang harus diambil,” kata Amin, dalam perbincangan media di kanal BNPB.
Amin menambahkan, mutasi virus terjadi secara alami dan acak, tidak sistematis. Dalam prosesnya, terjadi seleksi di mana ada mutasi yang menyebabkan virusnya menjadi lemah dan terelimininasi. Namun ada juga mutasi yang menyebabkan virusnya bertambah kuat, dalam arti dia lebih cocok dengan lingkungan dan menjadikannya bertahan. Proses mutasi, pendeknya adalah salah satu upaya virus untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana dia berada.
“Intinya kita harus berhati hati, bukan panik dan terlalu khawatir. Kehadiran itu harus diterjemahkan menjadi upaya kita untuk meningkatkan kemampuan mendeteksi, yang kedua merespon dan yang ketiga mencegah jangan sampai dia masuk Indonesia dengan mudah. Memang tidak terlalu mudah untuk mendeteksi itu, karena pintu kita terlalu banyak,” tambah Amin.
Saran Amin agar masyarakat tidak panik, antara lain didasari bukti bahwa varian baru virus Covid 19 ini diketahui hanya meningkatkan kemampuannya dalam menyebar atau kecepatan penularan. Namun, belum ada bukti bahwa virus hasil mutasi ini menyebabkan morbiditas yang meningkat. Morbiditas secara klinis ditandai dengan keadaannya lebih berat, lebih sulit diobati, atau lebih cepat menyebabkan kematian.
Sejauh ini, dari hasil mengamati pola mutasi virus dan data di GISAID, Amin mengatakan, virus yang bersirkulasi di Indonesia, pola mutasinya masih berkerabat dekat dengan virus di Wuhan. Pola mutasi yang terjadi secara jelas berbeda dari pola mutasi yang ada di Eropa, Afrika, maupun Amerika, kata Amin
Hati-Hati Lakukan PCR
Pakar Biologi Molekular Universitas Gadjah Mada, dr Gunadi Ph D di Yogyakarta menjelaskan, yang terjadi di Inggris adalah hasil analisis genomik virus corona yang menunjukkan adanya sekelompok mutasi atau varian baru pada lebih dari 50 persen kasus. Varian ini dikenal dengan nama VUI 202012/01 yang dibaca sebagai Variant Under Investigation, tahun 2020, bulan 12, varian 01.
BACA JUGA: Khawatirkan Varian Baru Virus Corona, Pemerintah Larang Warga Negara Inggris Masuk IndonesiaVarian ini terdiri dari sekumpulan mutasi, antara lain sembilan mutasi pada protein S (deletion 69-70, deletion 145, N501Y, A570D, D614G, P681H, T716I, S982A, D1118H). Varian baru (501.V2) juga ditemukan secara signifikan pada kasus Covid-19 di Afrika Selatan, yaitu kombinasi tiga mutasi pada protein S: K417N, E484K, N501Y.
“Secara global, varian VUI 202012/01 telah ditemukan pada 1,2 persen virus pada database GISAID, dan 99 persen varian tersebut dideteksi di Inggris. Selain itu, varian ini telah ditemukan di Irlandia, Perancis, Belanda, Denmark, Australia. Sedangkan di Asia ditemukan pada tiga kasus, yaitu Singapura, Hong Kong dan Israel,” kata Gunadi.
Dari sembilan varian baru hasil mutasi kali ini, menurut Gunadi, ada satu mutasi yang dianggap paling berpengaruh, yaitu mutasi N501Y. Penyebabnya, mutasi N501Y terletak pada Receptor Binding Domain (RBD) protein S. Ini merupakan bagian dari protein S yang berikatan langsung dengan ACE2, yang merupakan receptor untuk menginfeksi sel manusia.
“Mutasi ini diduga meningkatkan transmisi antarmanusia sampai dengan 70 persen. Namun, mutasi ini belum terbukti lebih berbahaya atau lebih ganas. Demikian juga, mutasi ini belum terbukti mempengaruhi efektivitas vaksin yang ada,” tambah Gunadi.
Namun, mutasi ini penting menjadi perhatian bagi mereka yang bertugas mendeteksi kasus melalui polymerase chain reaction (PCR). Sebagaimana diketahui, PCR untuk diagnosis infeksi Covid-19 dapat mendeteksi kombinasi beberapa gen pada virus corona, seperti gen N, gen orf1ab, gen S, dan beberapa yag lain. Karena varian baru terjadi mutasi pada protein S, maka diagnosis Covid 19 setelah ini sebaiknya tidak menggunakan gen S, karena dapat memberikan hasil negatif palsu.
Mutasi Baru Ancaman Liburan
Juru bicara Satgas Covid-19 Nasional, Prof. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, menegaskan munculnya varian virus baru pada Desember ini harus menjadi perhatian khusus. Libur panjang akhir tahun bisa menjadi wahana penularan secara masif jika masyarakat melakukan perjalanan antarwilayah.
“Seandainya virus itu sudah ada di daerah Asia, dengan mobilitas penduduk antarnegara, berpotensi untuk masuk ke Indonesia. Begitu juga sebaliknya, di dalam Indonesia pun juga kita harus membatasi mobilitas penduduk. Lebih baik kita tinggal di rumah saja, liburan dengan aman dan nyaman, tanpa harus melakukan jalan-jalan dan seterusnya, yang menimbulkan potensi penularan,” kata Wiku.
Wiku mengingatkan, dalam tiga kali masa liburan panjang tahun ini, masyarakat yang kurang mampu menahan diri telah menyumbang kenaikan kasus signifikan.
Your browser doesn’t support HTML5
“Kita sudah pengalaman tiga kali, selalu setelah liburan panjang kasusnya naik 50-100 persen. Kalau kita tidak belajar, dan sekarang adalah yang keempat, maka kita akan mendapatkan kasus yang jumlahnya sangat tinggi. Ini sangat berbahaya dan tidak bisa ditolerir,” tambahnya.
Wiku memberi catatan, pada awal November lalu Indonesia mencatatkan 54 ribu kasus aktif. Saat ini, dalam rentang kurang dari dua bulan, jumlah itu telah berlipat menjadi 110 ribu kasus aktif. [ns/ab]