Dansa sebagai olahraga sebetulnya bukanlah hal baru. Namun ketika ada komentar negatif terhadap video viral sepasang siswa SMPN 1 Ciawi, Bogor, yang juga atlet olahraga dansa mempertunjukkan kemampuan mereka, masyarakat kembali mencaritahu lebih banyak tentang olahraga ini, termasuk keberadaannya di Indonesia. Selain itu, apa tantangan dan kendala yang dihadapi para atletnya?
“Tahan banting saja!”
Itu kata Titanno Bayuseto Dahono, atlet Latin ballroom dancesport. Bantingan secara harfiah tentu tidak ditemukan dalam dancesport, olahraga yang memadukan gerakan tari dengan teknik dan stamina fisik sehingga memberikan pertunjukan yang artistik.
Ia berkomentar demikian mengacu pada pengalaman dua atlet dancesport yang juga pelajar SMP di Ciawi beberapa waktu lalu, ketika video unjuk keterampilan mereka menjadi viral. Di antara komentar yang masuk, ada yang menghujat mereka sebagai generasi yang dirusak oleh pengaruh budaya asing.
Titan juga tak jarang mendapat pertanyaan atau komentar mengenai pilihan olahraganya yang ia kenal ketika menjadi mahasiswa baru di Fakultas Hukum UI pada tahun 2008. “Ikut dansa-dansa, mungkin konotasinya masih negatif pada saat itu, belum tahu bahwa dansa ini bisa jadi [ajang adu] prestasi,” tuturnya.
Dengan resep ‘tahan banting’ menghadapi tantangan seperti itulah Titan mampu berprestasi setinggi-tingginya, termasuk maju ke final bersama pasangannya di SEA Games Filipina 2019. Selain membungkam komentar negatif, prestasi ini membuka mata publik bahwa dansa sudah menjadi cabang olahraga resmi di pesta olahraga se-Asia Tenggara tersebut..
Olahraga dansa yang ditekuni Dwi Cindy Desyana juga kerap dipandang sebelah mata. Cindy, yang kini berusia 32 tahun, sudah menghabiskan separuh usianya menekuni breaking, atau yang pada 1980-an populer disebut breakdance.
“Breaking itu lebih banyak menari di luar kan, seperti di lapangan, di tempat olahraga, lebih seperti street dance. Jadi kita seperti dianggap sebelah mata sih kalau orang-orang yang awam.”
Karena itu, jelas peraih medali emas di SEA Games Filipina 2019 tersebut, tampil di pinggir jalan sekaligus dimaksudkan untuk memperkenalkan tarian ini. Breaking sendiri seharusnya tak dipandang sebelah mata, karena Olimpiade 2024 di Paris akan mempertandingkan cabang olahraga ini.
Di tingkat Asia, dansa resmi dipertandingkan sejak Asian Games 1998 di Bangkok, Thailand. Satu dari dua pasangan atlet dansa andalan Indonesia ketika itu adalah Erwan Phanjaya dan Yulia Phanjaya, untuk kategori Ballroom Standard.
Putri mereka, Evelyn, pernah aktif sebagai atlet dansa hingga 2010. Ia kini menjadi pengajar di Erwan & Yulia Dancesport School pimpinan sang ayah. Ia juga aktif di bagian pembinaan atlet di organisasi resmi cabang olahraga dansa di bawah KONI, IODI (Ikatan Olahraga Dancesport Indonesia), provinsi DKI Jakarta.
Mengomentari pendapat bahwa dansa adalah budaya asing yang bisa merusak bangsa, Evelyn menbandingkannya dengan balet yang sudah lama diterima khalayak luas. Ia melihat ada kesalahan persepsi mengenai olahraga dansa.
“Mungkin karena dari dulu itu paradigmanya, dansa untuk kalangan atas, dansa itu mahal kesannya,” jelasnya.
Kalau dikatakan mahal, demikianlah adanya. Biaya berlatih olahraga dansa per sesi, sekitar 50-60 menit, biasanya berkisar dari Rp300 ribu hingga Rp500 ribu. Ini jauh lebih murah dibandingkan dengan latihan di luar negeri yang biaya per sesinya minimal $200 (sekitar Rp3 juta), kata Evelyn.
Belum lagi baju, sepatu dan arena olahraganya yang tidak bisa di sembarang tempat.
Tetapi Titan bercita-cita mengubah paradigma mahal tersebut. Sebagai olahraga, jelasnya, orang seharusnya tidak perlu mengenakan baju atau sepatu yang bagus. Mereka juga bisa berdansa di teras rumah, atau di gelanggang olahraga yang dikelola pemerintah setempat. Sebagai olahraga prestasi, lanjutnya, semua orang, termasuk dari kalangan bawah, seharusnya dapat berpartisipasi.
Titan dan Evelyn mengatakan, olahraga dansa sebetulnya sudah merasuk sampai ke daerah-daerah. Titan menduga penyebabnya adalah karena pilihan olahraga di daerah tidak terlalu banyak, sementara guru dansa terjun langsung mengajak kalangan bawah, orang-orang yang masih sekolah, untuk menekuni olahraga ini.
Para pegiat olahraga dansa ini juga membenarkan peran besar IODI dalam menyebarluaskan olahraga dansa. Bukan hanya itu. Bagi Cindy, “Seperti ada wadah untuk berkeluh kesah. Mendapatkan umpan baliknya juga lebih mudah.”
Atlet nasional atau daerah pun bisa lebih mudah mendapatkan fasilitas karena IODI sudah ‘bergandeng tangan’ dengan pemerintah, lanjutnya. Sebagai atlet DKI yang meraih prestasi, Cindy mendapatkan reward berupa uang.
Yang jelas, seperti juga olahraga lainnya, niat, tekun dan berdedikasi merupakan modal untuk meraih prestasi maksimal dalam olahraga dansa, kata Titan. Ia menganggap olahraga ini gampang-gampang susah. Semua orang bisa melakukannya, tetapi tantangannya adalah olahraga ini belum terkenal dan gurunya masih sedikit. Para atlet, kata Titan, “Harus belajar sendiri, mereka harus benar-benar aktif untuk belajar, cari guru sana-sini, belajar dari senior-seniornya.”
Yang jelas, mereka semua mengakui bahwa psara atlet olahraga dansa Indonesia memiliki bibit dan potensi besar. Bahkan, kata Cindy, “Untuk Asia Tenggara, Indonesia masih unggul, untuk B-Girlnya (kategori breaking putri).”
Sementara olahraga dansa masih belum sepopuler cabang olahraga lainnya, para pegiat olahraga tersebut terus berkeinginan untuk memopulerkannya dan melakukan kaderisasi. Cara yang dipikirkan oleh mereka antara lain adalah mencari bibit baru dari sekolah-sekolah, melakukan penjajakan agar olahraga tersebut dapat menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler.
Evelyn mengingatkan, dancesport adalah olahraga jangka panjang yang membutuhkan kedisiplinan dan komitmen. Para atlet senior yang berlaga di arena PON atau SEAGames, misalnya, rata-rata telah belajar dan menekuninya selama 10 tahun. “Tidak bisa satu dua tahun bisa, terus jago. Tidak bisa. Memang harus dipupuk dari kecil,” komentarnya.
Pada kategori breaking, Cindy menganggap merekrut atlet dari bibit yang mereka bina termasuk susah-susah gampang. Kendalanya sering kali adalah keluarga yang tidak menginginkan anak mereka melakukan gerakan-gerakan sulit di tingkat lanjutan.
Evelyn, yang optimistis olahraga dansa semakin dikenal masyarakat luas, menginformasikan bahwa sekarang ini, di bawah IODI, ada gerakan baku untuk para atlet baru. Olahraga dansa juga tidak selalu dilakukan berpasangan. Bahkan kelas solo sudah dipertandingkan di berbagai kompetisi hingga di tingkat internasional. Ia malah menengarai atlet solo kini lebih banyak daripada yang berpasangan.
Titan menambahkan, tidak ada kata terlambat untuk berprestasi dalam olahraga dansa, karena ia sendiri baru mulai menekuninya pada usia 18. Sambil menyebut manfaat olahraga ini bagi anak-anak berusia di bawah 10, ia mengutip hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang yang suka berdansa jarang mengalami demensia pada masa tuanya.
Bagi mereka yang ingin mencoba sesuatu yang baru seperti dancesport, Cindy menganjurkan untuk siap menghadapi berbagai tantangan dan menjalaninya dengan sungguh-sungguh.
Sekali lagi, seperti kata Titan, “Tahan banting saja!” [uh/ab]