Presiden Joko Widodo memuji kemitraan China dengan Indonesia sebagai mitra dagang terbesarnya. Di sela-sela Belt and Road Initiative (BRI) Forum di Beijing, Selasa, Jokowi bertemu Perdana Menteri China Li Qiang dan menyatakan setuju untuk memperdalam kerja sama.
“Saya mengapresiasi perkembangan positif dalam kemitraan komprehensif strategis kita dalam 10 tahun ini, di mana China telah menjadi mitra dagang terbesar Indonesia dan juga investor terbesar kedua di Indonesia. Kerja sama yang kuat ini akan berkontribusi pada penguatan kerja sama regional dan internasional di mana perdamaian dan stabilitas adalah kuncinya," ujar Jokowi.
Kedua negara juga mencapai “konsensus yang luas” untuk meningkatkan kerja sama praktis, kata Li.
“Dalam pembicaraan formal di Jakarta, kami mencapai konsensus yang luas untuk memperdalam kerja sama praktis antara kedua negara dan mendorong terwujudnya tujuan bersama antara China dan Indonesia,” kata Li.
BRI Forum digelar di Beijing pada Rabu, 18 Oktober, menandai ulang tahun ke-10 inisiatif infrastruktur dan energi global Presiden China Xi Jinping yang ambisius. Program ini telah mendanai pembangunan pelabuhan, pembangkit listrik, jalur kereta api, dan proyek-proyek lainnya di seluruh dunia. Namun, BRI menuai kritik karena metode pemberian pinjamannya kepada negara-negara berkembang, seringkali membebani negara-negara itu dengan utang.
Wang Yiwei, direktur Institut Urusan Internasional di Renmin University, mengatakan BRI mengandalkan pendekatan yang bersifat kerja sama dalam pembangunan dengan negara mitra, yang mendorong “jalan menuju modernisasi.”
BACA JUGA: Bertemu Presiden China, Jokowi Bahas Peningkatan Investasi Hingga Isu KemanusiaanAwal bulan ini, Indonesia meresmikan beroperasinya kereta api berkecepatan tinggi. Menghabiskan dana $7,3 miliar, kereta itu menghubungkan Jakarta dengan Bandung. Proyek yang didanai China itu menunjukkan keragaman penerimaan atas BRI.
Kereta api yang menempuh jarak 142 kilometer ini mengurangi waktu perjalanan antara Jakarta dan Bandung secara drastis. Namun, proyek itu terbebani penundaan dan peningkatan biaya.
Proyek tersebut semula diharapkan mulai beroperasi pada 2019, namun tertunda karena perselisihan mengenai pembebasan lahan, masalah lingkungan, dan pandemi COVID-19. Rencananya, proyek itu akan menelan biaya 66,7 triliun rupiah ($4,3 miliar), namun membengkak menjadi 113 triliun rupiah ($7,3 miliar).
Profesor Bisnis Internasional di Thammasat Business School di Bangkok, Pavida Pananond mengatakan bahwa inisiatif tersebut dianggap sebagai "jebakan utang". [ka/lt]
Your browser doesn’t support HTML5