Dalam pertemuan darurat Komite Eksekutif Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Kota Jeddah, Arab Saudi, Jumat (13/1), organisasi yang beranggotakan 57 negara berpenduduk mayoritas muslim ini menyampaikan keprihatinan terhadap kebijakan pemerintahan Taliban yang melarang perempuan bersekolah dan kuliah.
Menurut OKI, larangan tersebut bertentangan dengan tujuan hukum Islam dan metodologi Rasulullah. Untuk itu OKI mendesak Taliban menghormati hak-hak kaum hawa, termasuk hak atas pendidikan.
Taliban membalas seruan itu dengan meminta OKI tidak mencampuri urusan dalam negeri Afghanistan. Ketegangan pun tak terhindarkan.
Peneliti hubungan internasional di Badan Riset dan Inovasi nasional (BRIN) Nanto Sriyanto kepada VOA, Minggu (15/1), menilai sikap Taliban itu didasarkan pada persepsi yang jauh berbeda dari kebanyakan masyarakat bangsa-bangsa di dunia atas hak perempuan, terutama hak-hak dasar yang sudah dianggap normal, yaitu hak pendidikan dan hak berperan di dunia publik.
"Menjauhkan perempuan dari ruang publik akan berdampak banyak hal yang negatif buat pemerintahan Taliban dan ini saya rasa belum dirasakan, karena Taliban memang menikmati keterisolasian itu. Kita harus menunjukkan kepada mereka, tujuan mereka berkuasa itu bukan menempatkan Afghanistan makin terisolir dari dunia luar, tapi membuka Afghanistan berinteraksi, minimal berinteraksi dengan sesama negara yang mayoritas muslim," kata Nanto.
Menurut Nanto, Indonesia dan OKI telah melakukan beragam upaya untuk membuka pandangan Taliban bahwa apa yang mereka lakukan ini kontraproduktif dan tidak membawa kebaikan bagi rakyat Afghanistan. Namun, memang OKI tidak pernah melakukan intervensi secara langsung pada Taliban. Padahal sedianya organisasi ini dapat membuka dialog dengan menggunakan pendekatan pemikiran Islam dan norma hubungan internasional. Pendekatan ini juga digagas oleh pemerintah Indonesia, yang berulangkali menggelar dialog antarulama, meski tanpa hasil nyata.
Dia menyadari apa yang dilakukan Taliban sekarang juga tidak lepas dari konteks konflik yang berkepanjangan di Afghanistan, yakni keterasingan mereka dari banyak pemahaman Islam terkini. Taliban menilai mempersempit kehadiran perempuan di ruang publik diperlukan demi keamanan mereka sendiri, mengingat situasi negara itu yang belum stabil.
Hal senada disampaikan Mohammad Rosyidin, pengamat hubungan internasional dari Universitas Diponegoro yang menilai Taliban tampaknya tidak lagi mempedulikan untuk mendapat pengakuan dunia internasional selama masih dapat menggunakan instrumen ekonomi.
"Misalnya dia akan mengajak kerja sama negara-negara yang berminat untuk berinvestasi di Afghanistan dengan imbal balik pemberian pengakuan. Sebagai contoh, kita sudah mengetahui China salah satu negara yang sudah menunjukkan kedekatan dengan pemerintahan Taliban karena ada kepentingan di sana. China memiliki kepentingan BRI dan Afghanistan memiliki cadangan mineral, minyak dan gas yang luar biasa," ujar Rosyidin.
Your browser doesn’t support HTML5
Perlu Komitmen Kuat
Rosyidin mengakui sulit mengubah pola pikir Taliban karena merupakan kelompok konservatif, yakni Islam Deobandi yang menerapkan aturan ketat terhadap perempuan. Menurutnya Indonesia akan kesulitan berunding dengan Taliban karena perbedaan konsepsi dalam hal perdamaian, demokrasi, hak asasi manusia, dan sebagainya.
Beragam upaya dialog terbukti sulit mengubah cara pandang Taliban sehingga kalau pun Indonesia memiliki komitmen kuat demi masa depan kaum perempuan dan anak perempuan negara itu misalnya, diperlukan keuletan dan energi sangat besar untuk melakukan dialog lewat pendekatan Islam moderat, terutama pada pucuk pimpinan Taliban. Dialog Ulama Trilateral Afghanistan-Indonesia-Qatar dapat kembali diaktifkan. Demikian pula forum Konferensi Internasional Pendidikan Perempuan Afghanistan yang pernah diselenggarakan dulu.
BACA JUGA: Taliban: Kami akan Membenahi Larangan 'Sementara' Pendidikan Bagi PerempuanDirektur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jailani mengatakan pemerintah berharap pemerintahan Taliban dapat memenuhi semua janjinya ketika berkuasa pertengahan Agustus 2021, antara lain menghormati hak asasi manusia, termasuk kaum perempuan.
Beberapa hari setelah merebut tampuk pemerintahan, Taliban berjanji akan menciptakan pemerintahan yang inklusif, menghormati hak asasi manusia terutama hak perempuan dan anak serta tidak menggunakan wilayah Afghanistan sebagai sarang dan basis teroris. [fw/em]