Ratusan perempuan dan laki-laki turun ke jalan di Jakarta, Jumat (8/3) untuk memperingati Hari Perempuan Internasional dengan menyuarakan keprihatinan atas keadaan demokrasi di negara ini.
Hari Perempuan Internasional diperingati kurang dari sebulan setelah Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, mengadakan pemilihan presiden dan legislatif pada 14 Februari.
Lebih dari 100 perempuan dan aktivis berkumpul di depan gedung Badan Pengawas Pemilu di tengah hiruk pikuk Jakarta dalam aksi tahunan yang diselenggarakan oleh kelompok feminis dan buruh di ibu kota.
“Khusus bagi pekerja perempuan, selama sepuluh tahun terakhir dalam pemerintahan Jokowi ada omnibus law. Kita bisa lihat status kerja itu dibuat semakin fleksibel, kita bekerja tanpa jaminan, kontrak kerjanya pendek, upahnya murah, dan bahkan lembur yang tidak dibayar,” ujar aktivis Jihan Fatiha.
Prabowo Subianto, mantan jenderal pasukan khusus yang terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu, mengklaim kemenangan dalam pemilihan presiden bulan lalu berdasarkan penghitungan tidak resmi. Kedua pesaingnya, mantan gubernur Jakarta Anies Baswedan dan mantan gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, belum mengakui kekalahan dan menuduh adanya kecurangan dalam pemilu.
Para pengunjuk rasa berjalan menuju istana presiden, di mana lebih banyak pengunjuk rasa menuntut pemerintah segera mengadopsi Konvensi Organisasi Buruh Internasional mengenai penghapusan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja.
Para demonstran juga melakukan unjuk rasa menentang melonjaknya harga pangan, rendahnya upah, dan memburuknya kualitas hidup di Indonesia. [lt/uh]