Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika hari Kamis (5/10) mendesak masyarakat internasional dan semua negara “untuk mengkaji kembali hubungan ekonomi mereka dengan Myanmar, tetap waspada saat mengidentifikasi mereka-mereka yang terlebih dalam jaringan senjatata api – termasuk penjualan peralatan manufaktur dan bahan mentah – dan mengambil tindakan nyata untuk mencegah peralihan bahan-bahan tersebut ke tangan rezim (Myanmar). Membongkar perdagangan senjata global ke Myanmar sangat penting untuk mencegah terulangnya kekejaman terhadap rakyat Myanmar.”
Pernyataan itu disampaikan untuk menjawab pertanyaan VOA tentang pengaduan beberapa organisasi madani dan mantan Jaksa Agung Indonesia Marzuki Darusman kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) awal pekan ini tentang tiga produsen senjata milik negara – PT Pindad, PT PAL dan PT Dirgantara Indonesia – yang mereka tuduh telah menjual pasokan ke militer Myanmar. Langkah itu dinilai telah melanggar aturan hukum Indonesia dan hukum internasional.
BACA JUGA: Aktivis Katakan BUMN RI Pasok Senjata ke MyanmarMarzuki Darusman Pertanyakan Kesediaan Pemerintah Indonesia Patuhi Hukum Internasional
Dalam keterangan pers hari Senin (2/10), Chin Human Rights Organization (CHRO), Myanmar Accountability Project (MAP) dan Marzuki Darusman, menyatakan telah mengajukan pengaduan ke Komnas HAM, dan meminta badan itu “untuk menyelidiki” kajian yang didukung oleh Justice for Myanmar. Pengaduan itu mencakup “promosi dan dugaan penjualan pistol, senjata serbu, amunisi, kendaraan tempur dan piranti lain kepada militer Myanmar selama satu dekade terakhir, termasuk potensi langkah serupa setelah upaya kudeta bulan Februari 2021 lalu.”
Marzuki Darusman, mantan jaksa agung dan sekaligus mantan Ketua Tim Pencari Fakta Dewan HAM PBB untuk Myanmar, mengatakan, “Sebagai badan usaha milik negara (BUMN), perusahaan-perusahaan itu berada di bawah kendali langsung pemerintah Indonesia dan tunduk pada pengawasan dan persetujuan pemerintah."
Ditambahkannya, "Fakta bahwa piranti pertahanan telah dipromosikan secara aktif setelah kampanye genosida terhadap Rohingya dan kudeta tahun 2021 menjadi perhatian serius, dan menimbulkan keraguan tentang kesediaan pemerintah Indonesia untuk mematuhi kewajibannya berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter. Komnas HAM memiliki mandat untuk menyelidiki hal tersebut dan saya mendorong untuk melakukannya.”
Komnas HAM Masih Menelaah Pengaduan
Ketua Komnas HAM Atnike Sigiro pada hari Kamis (5/10) menyampaikan tanggapan tertulis atas pengaduan itu dengan mengatakan “telah menerima pengaduan dari pengadu yang dikirimkan oleh kuasa hukumnya – Themis Indonesia – melalui email pada hari Senin (2/10).” Namun hingga hari Kamis ini “Komnas HAM belum bertemu langsung dengan pihak pengadu, maupun perwakilannya.”
Lebih jauh dijelaskan bahwa saat ini Bidang Layanan Pengaduan Komnas HAM tengah menelaah pengaduan itu untuk memastikan ada tidaknya dugaan pelanggaran HAM. “Sesuai dengan prosedur penanganan pengaduan dan/kasus di Komnas HAM, maka materi aduan tidak dapat dipaparkan kepada publik,” jelas Atnike.
BACA JUGA: Perusahaan Singapura Didenda karena Ekspor Sistem Sonar ke MyanmarKomnas HAM, tambahnya, baru akan menangani pengaduan ini setelah melakukan analisa, dan dilakukan sesuai prosedur kelembagaan. Ia tidak menjelaskan prosedur dimaksud. Namun menyatakan bahwa “mengingat materi aduan melibatkan pihak di luar Indonesia, maka Komnas HAM perlu mempertimbangkan lebih lanjut dasar hukum, serta kewenangan untuk menangani aduan tersebut.”
DEFEND ID Bantah Tuduhan
Sehari sebelumnya perusahaan payung BUMN Industri Pertahanan (DEFEND ID) juga mengeluarkan pernyataan tertulis yang berisi bantahan terhadap tuduhan telah mengekspor produk industri pertahanan ke Myanmar pasca kudeta 1 Februari 2021. DEFEND ID lewat PT. Len Industri (Persero) sebagai induk holding yang beranggotakan PT Dahana, PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, dan PT PAL Indonesia “mendukung penuh resolusi PBB dalam upaya menghentikan kekerasan di Myanmar.”
Dalam pernyataan hari Rabu (4/10), DEFEND ID menegaskan bahwa “PT Pindad tidak melakukan kegiatan ekspor produk alpalhankam ke Myanmar terutama setelah adanya himbauan Dewan Keamanan PBB pada 1 Februari 2021 terkait kekerasan di Myanmar.”
DEFEND ID menjelaskan ekspor yang dilakukan PT Pindad ke Myanmar pada tahun 2016 adalah “produk amunisi spesifikasi olah raga untuk keperluan Myanmar mengikuti kompetisi olahraga tembak ASEAN Armies Rifle Meet (AARM) tahun 2016.”
DEFEND ID memastikan bahwa PT Dirgantara Indonesia dan PT PAL “tidak memiliki kerja sama maupun penjualan produk alpahankam ke Myanmar.”
“Sebagai perusahaan yang memiliki kemampuan produksi untuk mendukung sistem pertahanan yang dimiliki negara, DEFEND ID selalu selaras dengan sikap pemerintah Indonesia… selalu patuh dan berpegang teguh pada regulasi yang berlaku, termasuk kebijakan politik luar negeri Indonesia,” tambah pernyataan itu.
Bocoran Dokumen Ungkap Peran "True North" sebagai Perantara Penjualan Senjata ke Myanmar
Mengutip investigasi sumber terbuka dan dokumen-dokumen yang bocor, dua organisasi masyarakat madani – Chin Human Rights Organization (CHRO), Myanmar Accountability Project (MAP) – dan Marzuki Darusman menyatakan bahwa senjata yang diekspor ke Myanmar “mungkin diperantarai oleh perusahaan Myanmar, True North Company Ltd” milik Htoo Htoo Shein Oo, putra Menteri Perencanaan dan Keuangan Myanmar, Win Shein.
Win Shein adalah salah seorang yang dikenai sanksi oleh Amerika, Kanada dan Uni Eropa karena perannya dalam kudeta militer di negeri gajah putih itu.
Peran "True North" sebagai perusahaan swasta yang merundingkan kesepakatan antara militer Myanmar dan produsen senjata milik BUMN Indonesia menimbulkan kecurigaan adanya potensi korupsi, yang menurut para pengadu dan Justice for Myanmar “harus diselidiki oleh pihak berwenang Indonesia.”
Selama periode terjadinya dugaan penjualan senjata itu, Indonesia merupakan anggota aktif Dewan HAM PBB dan merupakan salah satu dari empat negara ASEAN yang mendukung resolusi Majelis Umum PBB yang menyerukan “kepada semua negara anggota PBB untuk mencegah aliran senjata ke Myanmar.”
Hingga laporan ini disampaikan upaya VOA untuk meminta tanggapan True North masih belum membuahkan hasil. [em/jm]