Dewan Pers menilai langkah penyidik Polda Metro Jaya, yang menindaklanjuti pelaporan juru bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi, mengancam kebebasan pers. Farid dilaporkan 64 hakim Mahkamah Agung (MA) dengan tudingan pencemaran nama baik ke Polda Metro Jaya.
Pelaporan tersebut berkaitan dengan tanggapan Farid soal penyelenggaraan turnamen tenis yang digelar Persatuan Tenis Warga Pengadilan (PTWP) MA dalam artikel Harian Kompas yang berjudul "Hakim di Daerah Keluhkan Iuran".
Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers, Imam Wahyudi mengatakan, pelaporan tersebut dapat membuat narasumber menjadi takut. Sehingga nantinya publik akan dirugikan karena tidak mendapat informasi dari media.
"Kemerdekaan pers ini bukan semata-mata bermanfaat untuk pers, tapi juga untuk publik. Coba kita bayangkan kalau kemudian semua narasumber menjadi takut untuk menyampaikan informasi atau pendapat ke pers, maka yang rugi adalah publik secara luas," jelas Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers, Imam Wahyudi saat dihubungi VOA, Rabu (5/12).
Imam Wahyudi menjelaskan lembaganya telah mengirimkan surat penjelasan terkait kasus ini ke Polda Metro Jaya. Dalam surat tersebut, Dewan Pers menyatakan kasus Farid Wajdi merupakan sengketa pers. Karena itu, penyelesaiannya cukup dilakukan di Dewan Pers sesuai dengan Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1990. Selain itu, Dewan Pers juga telah melakukan pendekatan internal kepada Polda Metro Jaya dalam penyelesaian kasus ini.
Sementara itu, Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan kriminalisasi terhadap narasumber bukan kali pertama terjadi. Narasumber lainnya yang juga dilaporkan ke polisi yaitu aktivis LSM antikorupsi ICW Emerson Yuntho dan Adnan Topan Husodo, aktivis Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar dan mantan penasehat KPK Said Zainal Abidin.
"Jadi dalam perkara pemidanaan terhadap narasumber. LBH Pers mendesak pihak kepolisian berkoordinasi kepada Dewan Pers karena ini terkait dengan produk jurnalistik yang seharusnya diselesaikan dengan sengketa pers, hak jawab atau hak koreksi," jelas Ade kepada VOA.
Ade menambahkan kriminalisasi narasumber juga akan merugikan publik dan pers. Sebab dikhawatirkan narasumber yang takut akan melakukan swasensor yang dapat mengakibatkan ketidakjernihan informasi yang diterima wartawan.
Dalam kasus ini, Farid Wajdi sudah dipanggil kepolisian sebagai saksi hingga tiga kali. Namun, Farid hanya dua kali menghadiri pemanggilan tersebut, terakhir pada Rabu, 5 Desember 2018.
Kendati kasus ini terus bergulir, Ketua KY Jaja Ahmad Jayus mengatakan hubungan antara MA dan lembaganya tetap baik. Meski demikian, KY tetap memberikan dukungan dan bantuan hukum kepada juru bicaranya.
"Secara kelembagaan, lembaga tetap berjalan, berproses. Kalau ada laporan yang berkaitan dengan itu, hasil investigasi yang berkaitan dengan itu, tetap jalan secara kelembagaan. Dan hubungan KY dengan Ketua MA biasa-biasa saja,"
Jayus mengatakan kasus tersebut tidak membuat hubungan antara KY dan MA memburuk. Dia mengaku masih bertemu dengan Ketua MA Hatta Ali beberapa hari sebelum dipanggil polisi.
Ahmad Jayus berharap kasus pelaporan Farid Wajdi dapat diselesaikan melalui proses penyelesaian sengketa pers sesuai rekomendasi dari Dewan Pers. VOA sudah berusaha mengkonfirmasi perihal sengketa pemberitaan yang berujung kriminalisasi ini ke juru bicara MA dan Polda Metro Jaya. Namun tidak ada respons dari kedua lembaga tersebut. [Ab/uh]