Para pemimpin di kawasan Karibia mengatakan pada Selasa (19/3), bahwa semua kelompok dan partai politik, kecuali satu partai, telah mengajukan calon untuk mengisi posisi pada dewan presiden transisi yang bertugas untuk memilih perdana menteri sementara untuk Haiti, yang masih diliputi oleh kekerasan antar geng.
Dewan yang awalnya beranggotakan sembilan orang itu dikurangi menjadi delapan anggota setelah partai Pitit Desalin, yang dipimpin oleh mantan senator dan calon presiden Jean-Charles Moïse, menolak untuk ambil bagian. Moïse sendiri beraliansi dengan Guy Philippe, seorang mantan pejabat kepolisian dan pemimpin pemberontakan yang telah menjalani hukuman di AS setelah mengaku bersalah atas tuduhan pencucian uang.
Kelompok 21 Desember, yang berafiliasi dengan Perdana Menteri Ariel Henry, adalah salah satu kelompok yang bertahan hingga akhir. Kelompok itu menyerahkan nama calonnya pada hari Senin (18/3).
Geng-geng telah membakar kantor polisi, melepaskan tembakan ke bandara internasional utama dan menyerbu dua penjara terbesar di Haiti dan membebaskan lebih dari 4.000 narapidana. Pada Senin (18/3), mereka menyerang dan menjarah rumah-rumah di dua komunitas kelas atas yang sebelumnya tenang, menewaskan sedikitnya 12 orang dalam aksi tersebut.
BACA JUGA: AS Terus Upayakan Evakuasi Warganya dari HaitiSerangan terbaru itu menimbulkan kecemasan bahwa kekerasan geng tidak akan berhenti, meskipun Perdana Menteri Henry hampir seminggu yang lalu mengumumkan bahwa ia akan mengundurkan diri setelah dewan presiden transisi terbentuk, sebuah langkah yang dituntut oleh geng-geng itu.
Presiden Guyana Irfaan Ali mengatakan, blok perdagangan kawasan Karibia, atau Caricom, bertemu hampir setiap hari untuk membantu pembentukan dewan tersebut.
Henry sendiri masih berada di luar Haiti akibat kekerasan geng yang terus berlanjut hingga menutup bandara internasional utama.
Ia tengah berada dalam perjalanan resmi ke Kenya untuk mengupayakan pengerahan pasukan polisi dari Afrika Timur yang didukung PBB, untuk memerangi geng-geng di Haiti, ketika orang-orang bersenjata melancarkan serangan pada 29 Februari di ibu kota, Port-au-Prince, yang hingga kini masih berlangsung.
Kondisi saat ini membuat pengerahan pasukan Kenya menjadi tertunda.
Kantor kemanusiaan PBB melaporkan, situasi di Port-au-Prince “masih tegang dan bergolak,” sekolah-sekolah, rumah sakit dan gedung-gedung pemerintah diserang dan banyak operasi yang dibatasi. Sektor kesehatan terus berjuang akibat kurangnya pasokan medis, tenaga kesehatan, dan pasokan darah. [ps/lt]