Pemimpin etnis Tatar Krimea berada di Amerika pekan ini untuk menyuarakan keprihatinannya mengenai apa yang dilihatnya sebagai masalah di masa depan bagi rakyatnya dan bagi Krimea secara umum menyusul aneksasi Rusia atas semenanjung di Laut Hitam itu.
Mustafa Dzhemilev adalah anggota parlemen Ukraina yang pernah mengepalai Mejlis, badan legislatif Tatar Krimea. Dia mengatakan kepada VOA siaran bahasa Ukraina di Washington hari Kamis bahwa masalah utama yang dihadapi etnis Tatar Krimea sekarang ini adalah kehadiran pasukan Rusia di semenanjung itu dan ancaman yang mereka bawa bagi persatuan Ukraina.
Awal pekan ini, Dzhemilev, seorang aktivis kawakan HAM yang pernah enam kali mendekam di penjara Soviet, berbicara pada sesi informal Dewan Keamanan PBB di New York. Dia menyampaikan kekhawatiran bahwa etnis Tatar bisa menjadi sasaran kekerasan di bawah kekuasaan Rusia, dan mengatakan dia ingin pasukan penjaga perdamaian dikerahkan ke Krimea.
Misi Lithuania di PBB mengorganisir sesi informal Dewan Keamanan itu, yang diboikot Rusia, menyebutnya “pertunjukkan propaganda yang bias.”
Etnis Tatar Krimea dideportasi massal oleh dictator Soviet Josef Stalin pada tahun 1944 karena diduga berkolaborasi dengan Nazi Jerman. Mereka baru mulai kembali ke tanah air mereka yang bersejarah di semenanjung itu pada tahun 1991. Kini, jumlah mereka mencapai 12 persen dari hampir dua juta penduduk Krimea.
Menurut Moskow, lebih dari 96 persen dari mereka yang memilih dalam referendum 16 Maret yang dilakukan Rusia mengenai status Krimea memilih berintegrasi dengan Rusia, dan para pemilih yang hadir mencapai 83 persen. Dzhemilev berkeras para pemilih yang hadir hanya 32 persen, dan bahwa etnis Tatar Krimea memboikot massal pemungutan suara itu.
Dzhemilev mengatakan kepada VOA hari Kamis bahwa etnis Tatar Krimea akan terus berkeras bahwa merka merupakan bagian dari wilayah otonomi di dalam Ukraina.
Namun, Rusia tidak menawarkan pilihan itu. Pada tanggal 18 April, seluruh penduduk Krimea secara otomatis akan menjadi warga negara Rusia kecuali mereka mengajukan permohonan yang menyatakan bahwa mereka ingin mempertahankan kewarganegaraan Ukraina.
Awal pekan ini, Dzhemilev, seorang aktivis kawakan HAM yang pernah enam kali mendekam di penjara Soviet, berbicara pada sesi informal Dewan Keamanan PBB di New York. Dia menyampaikan kekhawatiran bahwa etnis Tatar bisa menjadi sasaran kekerasan di bawah kekuasaan Rusia, dan mengatakan dia ingin pasukan penjaga perdamaian dikerahkan ke Krimea.
Misi Lithuania di PBB mengorganisir sesi informal Dewan Keamanan itu, yang diboikot Rusia, menyebutnya “pertunjukkan propaganda yang bias.”
Etnis Tatar Krimea dideportasi massal oleh dictator Soviet Josef Stalin pada tahun 1944 karena diduga berkolaborasi dengan Nazi Jerman. Mereka baru mulai kembali ke tanah air mereka yang bersejarah di semenanjung itu pada tahun 1991. Kini, jumlah mereka mencapai 12 persen dari hampir dua juta penduduk Krimea.
Menurut Moskow, lebih dari 96 persen dari mereka yang memilih dalam referendum 16 Maret yang dilakukan Rusia mengenai status Krimea memilih berintegrasi dengan Rusia, dan para pemilih yang hadir mencapai 83 persen. Dzhemilev berkeras para pemilih yang hadir hanya 32 persen, dan bahwa etnis Tatar Krimea memboikot massal pemungutan suara itu.
Dzhemilev mengatakan kepada VOA hari Kamis bahwa etnis Tatar Krimea akan terus berkeras bahwa merka merupakan bagian dari wilayah otonomi di dalam Ukraina.
Namun, Rusia tidak menawarkan pilihan itu. Pada tanggal 18 April, seluruh penduduk Krimea secara otomatis akan menjadi warga negara Rusia kecuali mereka mengajukan permohonan yang menyatakan bahwa mereka ingin mempertahankan kewarganegaraan Ukraina.