Segera setelah mereka mengenakan headset, ruangan di mana mereka berada seakan menghilang dan mereka tenggelam dalam dunia virtual yang benar-benar baru.
Anak-anak muda di Darwin ini melakukannya sebagai bagian dari percobaan untuk membantu mereka mengatasi masalah kesehatan mental mereka.
Zoe Collins adalah koordinator proyek realitas virtual itu. "Wilayah ini memiliki salah satu tingkat bunuh diri tertinggi di negara ini dan kaum muda, khususnya kaum muda Aborigin dan Kepulauan Selat Torres, termasuk kelompok berisiko tinggi," jelasnya.
Ia dan rekan-rekannya yang berada di balik program percontohan baru ini berharap teknik tersebut akan membuka jalan bagi cara-cara baru untuk mengatasi masalah kesehatan mental.
Your browser doesn’t support HTML5
"Kaum muda menyukai ruang interaktif, pengalaman imersif, permainan video, jadi kami pikir mungkin realitas virtual dapat dimanfaatkan untuk terapi yang bisa menenangkan jiwa mereka,” lanjutnya.
Menurut Brett Leavy, pengembang realitas virtual, ia menciptakan dunia maya yang berfokus pada tradisi dan budaya masyarakat pribumi dalam proyek ini. Hasilnya ternyata menjanjikan.
"Saya lihat orang-orang ini benar-benar menanggapinya. Ini menyenangkan, ini membuat mereka tertarik, ini adalah teknologi baru. Saya kira ini adalah teknologi baru yang berusaha memanfaatkan budaya kuno."
Menurut Collins, jika program percontohan ini berhasil, ia tidak hanya akan berusaha menekan angka bunuh diri, tapi juga mengatasi masalah-masalah kesehatan mental lain seperti kecemasan, depresi, dan ADHD, gangguan mental yang menyebabkan seseorang sulit memusatkan perhatian.
Menurutnya, ia hanya perlu mengembangkan realitas virtual tertentu yang sesuai dengan gangguan-gangguan mental itu. [ab/uh]