Jarak tak jadi halangan berarti bagi warga negeri Paman Sam di Indonesia untuk bisa berpartisipasi dalam pesta demokrasi empat tahunan Amerika. Sejumlah isu menjadi bahan pertimbangan dalam memilih jagoan mereka.
Kembali pecahnya konflik di Gaza membayangi pilpres AS kali ini, utamanya bagi para pemilih muslim dan komunitas Arab-Amerika–ladang basah suara Partai Demokrat–yang vokal menentang kebijakan pro-Israel pemerintah Amerika Serikat.
Di Indonesia, sejumlah diaspora Amerika yang nyoblos mengaku pesimis pemilu akan mengubah konflik di Gaza dan Timur Tengah.
“(Konflik di Timur Tengah) ini isu yang terus terjadi,” kata Douglas Leurquin, diaspora Amerika asal Wisconsin, kepada VOA.
“Menurut saya, siapa pun yang menang pilpres tak bakal menyelesaikan konflik di Timur Tengah,” lanjut pengajar bahasa Inggris yang sudah menetap di Indonesia sejak 1995.
Senada dengan Douglas, diaspora AS lainnya asal Michigan, Jerry Chamberland, menyatakan isu ini menjadi kesulitan tersendiri bagi para pemilih Partai Demokrat.
“Saya merasa bahwa konflik ini kemungkinan tak bakal segera selesai,” ragu pria pensiunan yang sudah dua dekade lebih tinggal di tanah air.
Jerry mengaku sering tak setuju dengan kebijakan luar negeri Amerika.
“Tak ada, tak ada, tak ada yang bisa dibenarkan atas perlakuan seperti sekarang ini terhadap rakyat Palestina,” lanjutnya, “Sebelum perang ini dimulai, tak ada juga dukungan nyata dan progres terhadap pendirian sebuah negara Palestina.”
“Rakyat Palestina jadi bagian dari korbannya.”
Bolos Nyoblos demi Gaza
Isu Gaza nampaknya berdampak pada loyonya suara Partai Demokrat pada pemilu kali ini, khususnya bagi para pemilih muslim Amerika.
Di Dearborn, Michigan–salah satu kota dengan populasi Arab-Amerika terbesar–Kamala Harris hanya mencetak 36% perolehan suara, anjlok dari sekitar 70% suara Presiden Joe Biden pada 2020. Rivalnya, Donald Trump, justru mendapat suara lebih tinggi tahun ini: 42%.
Rasa frustrasi terhadap posisi para capres soal isu Gaza, juga disuarakan diaspora lainnya yang memilih bolos nyoblos tahun ini.
“Saya memutuskan untuk tak nyoblos tahun ini karena saya tak senang dengan kedua kandidat,” kata seorang diaspora Amerika yang tak ingin disebutkan namanya kepada VOA.
“Mereka tak mewakili prinsip dasar diri saya, dan saya tak bisa secara sadar memilih seseorang yang tak sreg dengan saya,” jelasnya.
Pemilu kali ini seharusnya menjadi kesempatan nyoblos perdana sang diaspora dari luar negeri, yang sudah 2,5 tahun mendiami Indonesia. Namun, keengganannya untuk nyoblos kali ini juga jadi kesempatan untuk mengkritisi sistem dua partai besar Amerika: Demokrat dan Republik.
“Sistem ini membuat kamu harus memilih A atau B,” contohnya.
“Dan kalau kamu pilih C, orang langsung menyebutnya sebagai suara yang terbuang.”
“Pilihan C” alias capres dari partai ketiga, seperti Jill Stein dari Green Party (Partai Hijau), nyatanya menjadi magnet tersendiri bagi pemilih muslim imbas advokasi Stein untuk mengakhiri dukungan militer AS pada Israel.
Di Dearborn, Stein menerima 18% suara. Ia pun didukung beberapa tokoh masyarakat Arab, muslim, serta para pejabat di Michigan.
Namun, bagi diaspora anonim yang sempat tinggal di wilayah Midwest Amerika dan New York ini, suara partai ketiga “tak berpengaruh” dan “tak punya dampak signifikan”.
“Perlu semacam revolusi untuk capres partai ketiga bisa bersinar sebagai kandidat dengan potensi besar,” sebutnya.
Jerry juga menyuarakan hal serupa.
“Ada Jill Stein, ada Robert F. Kennedy (Jr.-red) … Mereka tak punya jalur nyata untuk bisa menang,” papar Jerry. “Saya rasa posisi Jill Stein progresif-positif, tapi dia hanya mengambil suara kandidat lain.”
Namun, bagi diaspora anonim yang tak nyoblos, ia punya keyakinan tersendiri.
“Memilih kandidat partai ketiga atau memilih tidak nyoblos, juga sebuah pernyataan tersendiri, akan ketidakpuasan terhadap status quo,” tutupnya.
Ragam Isu Memilih Orang Nomor Satu
Tak cuma soal Gaza, berbagai pertimbangan menjadi perhatian serius para diaspora Amerika dalam pesta demokrasi empat tahunan ini.
Beberapa singgung soal isu imigran, yang jadi bola panas dalam debat Harris dengan Trump maupun wakilnya masing-masing, Tim Walz dengan J.D. Vance.
“Kita butuh imigrasi yang legal. Kita selalu punya (sistem) imigrasi,” kata Douglas, yang juga mengeluhkan mahalnya layanan kesehatan serta riskannya sistem jaminan sosial di Amerika.
“Amerika butuh banyak orang, kami butuh pekerja supaya ekonomi terus berputar.”
“Imigran, termasuk yang berasal dari Indonesia, merekalah yang membuat Amerika hebat,” kata Ben Wagner, diaspora Amerika lainnya yang sudah 1,5 tahun menetap di Indonesia.
Ben juga menyuarakan soal demokrasi dan independensi media serta pers.
Keberlanjutan tata negara Paman Sam di masa depan lalu dipertanyakan Jerry: “Apakah sistem Amerika tetap dapat dikenali?”
“Singkatnya, pemilu terakhir itu penting, dan ternyata pemilu kali ini juga penting karena alasan yang sama,” tutup Jerry.
Bagi diaspora lain, seperti Alison Emerick asal Colorado, hak-hak perempuan dan isu aborsi menjadi fokusnya.
“Sebagai seorang perempuan, pemilu kali ini super penting,” kata kreator konten keluarga di Bali ini.
“Kami nyoblos demi hak-hak perempuan, hak reproduksi, supaya tak mundur lagi ke belakang dengan capaian-capaian yang sudah kami raih sebagai perempuan.”
Alison sudah meninggalkan Amerika sejak 2019. Ia sudah dua tahun tinggal di
Indonesia, sebelum nantinya pindah ke Eropa tahun depan.
“Saya seorang warga Amerika,” katanya.
“Saya peduli dengan apa yang terjadi pada negara saya.” [gg/dw]