Dideportasi dari AS, Warga Haiti Hadapi Situasi Tanah Air yang Berbahaya

  • Associated Press

Seorang pria mengangkat tangannya di tengah polisi yang berpatroli di jalanan di pusat kota Port-au-Prince, Haiti, pada 22 September 2021. Warga membuat barikade sebagai bentuk protes terhadap dugaan pembunuhan yang dilakukan polisi pada minggu lalu. (Foto: AP/Rodrigo Abd)

Ribuan warga Haiti yang dideportasi dari Amerika telah kembali ke ibu kota Port-au-Prince yang kini situasinya lebih berbahaya dibanding saat mereka pergi dari wilayah tersebut beberapa tahun sebelumnya.

Port-au-Prince adalah ibu kota yang diselimuti asap dan debu dan seringkali dihantui dengan suara tembakan senjata api. Seluruh bagian kota itu berada di bawah kendali kelompok-kelompok tertentu dan kekuatan polisi tidak mampu mengendalikan mereka.

Kantor polisi telah dijarah. Sementara sejumlah jalur lalu lintas diwarnai dengan ban-ban yang dibakar dan ditumpuk untuk dijadikan barikade. Ada sekitar 100 kelompok atau geng di Port-au-Prince, namun tidak ada yang mengetahui jumlah pasti kelompok-kelompok tersebut. Ditambah dengan, urusan loyalitas pada suatu kelompok bersifat sangat cair.

BACA JUGA: Biden Pikul Tanggung Jawab atas Tindakan terhadap Migran Haiti

Sedikitnya 2.334 warga Haiti yang dideportasi dari Texas telah mendarat di Port-au-Prince pada minggu lalu, di mana masing-masing mendapat uang tunai antara 15-100 dolar dan “belas kasihan” dari pejabat-pejabat imigrasi.

Banyak diantara ribuan orang yang dideportasi tersebut baru menginjakkan kakinya kembali di ibu kota Port-au-Prince tersebut setelah beberapa atau mungkin puluhan tahun tak kembali.

Pada hari Sabtu (25/9), sebuah surat kabar lokal melaporkan terjadi 10 penculikan dalam 24 jam terakhir. Para korban mencakup wartawan, ibu seorang penyanyi dan sepasang suami istri yang mengemudikan kendaraan bersama anak mereka, yang ditinggal di dalam mobil.

Kelompok migran Haiti yang dideportasi dari AS berkumpul untuk menjalani tes COVID-19 setelah tiba di Bandara Toussaint Louverture International Airport di Port-au-Prince, Haiti, pada 21 September 2021. (Foto: Reuters/Ralph Tedy Erol)

Bahkan sebelum pembunuhan Presiden Jovenel Moise, pemerintahan Haiti dinilai cukup lemah, dan Justice Palace – semacam aturan hukum di Haiti – tidak diakui, serta kongres telah dibubarkan dan gedung legislatif penuh tembakan peluru. Kini, meskipun negara tersebut memiliki perdana menteri, pemerintah Haiti tetap absen dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di negaranya.

Sebagian besar penduduk Port-au-Prince tidak memiliki akses pada layanan umum dasar. Kota tersebut juga tidak memiliki sarana air minum, listrik atau pengumpulan sampah.

Dan orang-orang yang dideportasi akan bergabung bersama ribuan warga Haiti lainnya yang telah terpaksa meninggalkan rumah mereka karena berbagai aksi kekerasan. Para pengungsi ini telah tinggal di sekolah, gereja, pusat olahraga dan kamp-kamp darurat yang dibangun diantara puing-puing reruntuhan. Banyak diantara mereka yang bahkan tidak terjangkau oleh organisasi kemanusiaan sekali pun.

Menurut PBB ada lebih dari 18.000 orang yang mengungsi di Port-au-Prince sejak kekerasan antar kelompok meningkat Mei lalu. Dari jumlah itu, Organisasi Internasional Untuk Migrasi IOM hanya dapat memberikan bantuan sekitar 5.000 – 7.000 orang saja. (em/jm)