Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa Indonesia tidak akan lagi mengekspor nikel dalam bentuk mentah (raw material), meskipun kebijakan tersebut berujung gugatan Uni Eropa (EU) terhadap Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
“Meskipun kita digugat di WTO, gak apa-apa, nikel, nikel kita. Barang, barang kita. Mau kita jadikan pabrik di sini, mau kita jadikan barang di sini, hak kita dong. Ya kita hadapi kalau ada yang menggugat, jangan digugat kita mundur lagi, nggak akan ada kesempatan dan peluang itu datang lagi,” ungkap Jokowi saat memberikan pengarahan kepada peserta Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XXIII 2021 Lemhanas RI di Istana Negara, Jakarta, Rabu (13/10).
Dalam menghadapi gugatan tersebut, Jokowi mengaku tidak gentar. Ia mengatakan hilirisasi harus dilakukan di tanah air guna menciptakan produk turunan yang bernilai tambah tinggi yang ia yakini bisa bermanfaat luas bagi masyarakat.
BACA JUGA: Jokowi Resmikan Pembangunan Smelter Terbesar di Dunia“Dan sekali lagi harus punya keberanian, jangan sampai kita grogi gara-gara kita digugat di WTO. Disiapkan lawyer yang kelas-kelas internasional agar nggak kalah kita, inilah yang dalam proses semuanya kita siapkan untuk mengintegrasikan apa yang kita cita-citakan,” tegasnya.
Jokowi: Indonesia Tak Boleh Kehilangan Momentum Lagi
Menurutnya, Indonesia sudah sejak lama kehilangan momentum untuk melakukan hilirisasi dan industrialisasi di negeri sendiri sehingga banyak negara-negara lain yang justru merasakan keuntungannya. Dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia, ungkap Jokowi, harus bisa memanfaatkannya untuk perekonomian nasional namun tetap bisa melestarikan kekayaan alam tersebut.
“Artinya apa? Kalau tambang ya, kita jangan hanya menjadi tukang gali saja. Anugerah yang diberikan Allah kepada kita itu betul-betul luar biasa besarnya tapi kalau kita hanya tukang gali kemudian kita kirim ke luar, mereka buat smelter di sana, kemudian dijadikan barang setengah jadi, atau barang jadi kemudian kembali ke sini kita beli. Inilah yang sedikit demi sedikit, tahap demi setahap harus mulai kita hilangkan,” jelasnya.
Guna mencapai target hilirisasi, Indonesia katanya sudah mengambil alih mayoritas saham perusahaan-perusahaan tambang asing seperti PT Freeport Indonesia, di mana sebelumnya telah dikelola oleh Freeport Mcmoran selama 54 tahun. Pemerintah juga telah mengambil alih 100 persen Blok Mahakam untuk dikelola oleh Pertamina, setelah sebelumnya dikelola oleh Total dari Perancis. Jokowi pun berharap, selain nikel bahan mentah komoditas lainnya yang tersedia di tanah air harus bisa diproduksi di dalam negeri.
“Minerba ini harus menjadi sebuah fondasi kita dalam rangka memajukan negara kita Indonesia. Setelah nikel apa? Ya nanti berikutnya bauksit, stop tidak bisa lagi ekspor mentahan, harus menjadi alumunium. Sawit juga sama, suatu titik nanti akan stop yang namanya ekspor CPO, harus jadi kosmetik, harus jadi mentega, harus jadi bio diesel, dan turunan lainnya,” tegasnya.
Pengamat Nilai Kebijakan Pemerintah Tak Komprehensif, Penuh Diskriminasi
Pengamat Ekonomi Salamun Daeng mengatakan, langkah Jokowi dengan menggencarkan hilirisasi dan industrialisasi bahan komoditas minerba di tanah air merupakan salah satu langkah yang cukup baik. Namun, sayangnya ia tidak yakin apakah target hilirisasi tersebut dapat tercapai. Pasalnya, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak komprehensif, tidak konsisten dan penuh diskriminasi.
Ia mencontohkan, kebijakan yang tidak komprehensif terlihat dari lebih banyaknya izin ekspor bahan mentah minerba dibandingkan dengan minerba yang diolah di dalam negeri, sehingga menjadi kontra produktif yang akhirnya tidak tercipta ruang untuk terjadinya hilirisasi. Selain itu, kebijakan pemerintah untuk melakukan hilirisasi tidak konsisten. Hal ini terlihat dari banyaknya relaksasi yang diberikan kepada para perusahaan tambang raksasa untuk menunda melakukan pembangunan smelter di dalam negeri dan tetap melakukan ekspor bahan mentah.
BACA JUGA: Jokowi Resmikan Pembangunan Pabrik Baterai Kendaraan Listrik Pertama di Indonesia“Misalnya dalam kasus Newmont, Freeport, atau perusahaan tambang besar lain yang itu kan, umumnya mendapatkan relaksasi kembali, izin ekspor yang saya lihat cenderung melanggar aturan prinsip-prinsip yang sudah diatur dan saya melihat ada suatu penyelahgunaan kekuasaan. Mencari ruang yang legal untuk bisa melakukan itu dengan modus utama relaksasi ekspor,” ungkapnya kepada VOA.
Ia juga melihat masih adanya diskriminasi di antara pelaku usaha, sehingga hanya perusahaan tambang dalam skala kecil dan menengah saja yang dipaksa untuk melakukan hilirisasi di dalam negeri. Sementara perusahaan besar atau asing lagi-lagi selalu diberikan relaksasi oleh pemerintah.
“Ada praktek diskriminasi, dan itu berlangsung di lapangan dalam berbagai skala, misalnya yang kecil harus, yang agak besar juga harus, tapi perusahaan besar tidak harus. Seperti Freeport, Newmont dan lain-lain kan, melanggar, tidak ada yang sesuai target walaupun peraturannya sudah ada dan batas waktu yang diberikan kepada mereka sudah berakhir, akhirnya dilonggarkan terus, berarti terjadi praktek diskriminasi karena pihak lain menjalankan sesuai aturan,” jelasnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Maka dari itu, ia menyarankan kepada pemerintah apabila memang ingin mewujudkan sebuah hilirisasi di dalam negeri, berbagai aturan yang ada harus benar-benar ditegakkan dengan baik.
“Kalau aturan ini dijalankan, maka yang namanya hilirisasi pasti akan memberi nilai tambah terhadap ekspor, dan itu juga bisa menjaga dan membantu kita membatasi eksploitasi sumber daya alam, yang akan sesuai dengan kebutuhan nasional jadi laju kerusakan otomatis bisa ditahan. Dengan demikian kalau laju kerusakan bisa ditahan dengan cara ini maka sebetulnya banyak yang bisa dipenuhi oleh pemerintah termasuk target penurunan emisi dan lain-lain, bisa membantu. Tapi kalau tidak serius, tidak ditaati ya, implikasinya ke mana-mana,” pungkasnya. (gi/em)