Serangan ransomware terbesar pada 2021 telah memicu perdebatan di kalangan penyusun kebijakan, pakar keamanan siber, dan pemimpin bisnis, tentang apakah bisnis seharusnya jangan membayar penjahat di dunia maya.
Bisnis dan organisasi lain yang terperangkap oleh peretas canggih harus memilih, apakah membayar para peretas itu atas kejahatan mereka sebagai imbalan memperoleh kembali kendali atas jaringan komputer mereka, atau menolak membayar dan kehilangan data yang tidak bisa digantikan serta kemampuan untuk memulihkan operasi.
Tekanan semakin besar terhadap pemerintahan Biden untuk mencari jalan mengatasi ancaman ini. Presiden Biden hari Rabu (7/7) bertemu dengan pejabat keamanan nasional dan para pakar untuk membahas strategi dan kebijakan yang baru.
BACA JUGA: Biden: Serangan Ransomware “Menimbulkan Sedikit Kerugian”Serangan pada akhir minggu libur 4th of July menarget pemasok perangkat lunak Kaseya di AS, dan lebih dari 1.000 pelanggannya di seluruh dunia. Hal ini terjadi menyusul serangkaian penyusupan serupa yang dilakukan geng-geng penjahat yang beroperasi dari Rusia.
REvil, adalah sebuah geng penjahat siber yang berbicara Rusia dan dituduh menyerang pabrik pengolah daging JBS USA pada Juni. REvil menyatakan bertanggung jawab atas serangan terakhir ini dan mengklaim telah menyusupi lebih dari 1 juta “sistem.” Kelompok ini menuntut uang tebusan senilai $ 70 juta dalam bentuk mata uang kripto sebagai imbalan bagi penyediaan kunci “universal” untuk membuka mesin-mesin yang terkena.
Pembayaran tebusan ini merupakan yang terbesar yang pernah dilakukan, demikian menurut perusahaan keamanan siber Recorded Future. [jm/em]