Dipromosikan ke posisi perdana menteri setelah putusan pengadilan menyingkirkan pendahulunya, para ahli politik mengatakan bahwa pemimpin termuda Thailand yang pernah terpilih, Paetongtarn Shinawatra, mungkin merupakan kartu terakhir yang dapat dimainkan dinasti politiknya saat berupaya memenangkan kembali suara pemilih Thailand.
Namun, risiko kekuatan garis depan politik Thailand telah disorot dalam beberapa minggu terakhir oleh para hakim, yang sekali lagi menunjukkan bahwa mereka bersedia membentuk kembali politik kerajaan yang terjebak dalam krisis politik selama dua dekade terakhir.
Paetongtarn adalah putri Thaksin Shinawatra yang berusia 37 tahun, yang telah menjadi pusat pergumulan politik Thailand sejak ia memenangkan pemilu secara telak pada tahun 2001.
Pada hari Minggu (18/8), ia secara resmi menjabat sebagai perdana menteri Thailand ke-31 setelah pemecatan mendadak terhadap taipan real estate Srettha Thavisin dari jabatannya, oleh Mahkamah Konstitusi dalam penyelidikan kode etik.
BACA JUGA: Partai Pro-demokrasi Terbaru di Thailand Hadapi Sandungan HukumPaetongtarn dipilih oleh parlemen, meskipun faktanya ia memiliki keterbatasan pengalaman politik dan tidak pernah dipilih secara langsung oleh publik. Dalam konferensi pers pertamanya, ia menegaskan bahwa ia akan menjadi "dirinya sendiri, dengan tujuannya sendiri."
Tetapi sedikit yang percaya bahwa Thaksin, yang merupakan seorang miliarder berusia 75 tahun serta telah dua kali menjabat sebagai perdana menteri sebelum digulingkan dari jabatannya melalui kudeta tahun 2006, akan menahan diri untuk tidak menarik kendali pemerintahan.
Ia kembali ke Thailand pada tanggal 22 Agustus tahun lalu, setelah 15 tahun berada dalam pengasingan melalui suatu kesepakatan untuk membagi kekuasaan dengan mantan musuh bebuyutannya yang menganut paham royalis dan memblokir Partai Move Forward (MFP) yang pro-demokrasi dari pemerintahan.
"Thaksin masih sangat aktif terlibat di balik layar." kata Verapat Pariyawong, yang mengajar hukum dan politik Thailand di University of London SOAS dan juga menjadi penasihat komite parlemen Thailand. "Putrinya akan mengambil salah satu pekerjaan terberat yang sangat dikenalnya."
Partai Shinawatra pernah dipandang sebagai pendukung populis kaum miskin, dan karena itu mereka menjadi ancaman bagi elit-pro kerajaan, yang menghantam mereka dengan dua kudeta dan kasus pengadilan yang tak ada habisnya.
Namun, perjuangan demokrasi telah diambil alih oleh Move Forward, yang memenangkan pemilu terakhir pada tahun 2023 dan mengejutkan partai Pheu Thai yang didirikan Thaksin dengan mengalahkannya hingga menempati posisi kedua.
"Sejak partai Pheu Thai kalah dalam pemilu, prioritas mereka hanyalah memenangkan pemilu berikutnya, yang lainnya hanyalah pelengkap." kata Sirote Klampaiboon, yang merupakan seorang akademisi independen sekaligus komentator politik kepada VOA. "Tujuan utama mereka adalah memenangkan pemilu berikutnya."
Move Forward dibubarkan seminggu sebelum Srettha dicopot dari jabatannya oleh pengadilan yang sama, dalam suatu langkah yang digambarkan Sirote sebagai "kekuatan paralel’" Thailand yang mendukung penyelesaian kekuasaan secara konservatif.
MFP telah berganti nama menjadi Partai Rakyat dan tengah berupaya membangun kembali partainya untuk meraih kemenangan yang menentukan dalam pemilu 2027.
Citra yang rusak
Tugas pertama Paetongtarn adalah menunjuk kabinet yang mencerminkan kepentingan pemerintah koalisi, dengan faksi-faksi konservatif yang kemungkinan besar akan saling berebut jabatan di kementerian terbesar.
Perekonomian Thailand yang kini lesu serta lengsernya pemerintahan Srettha telah meragukan pemberian bantuan uang digital senilai hampir $14 miliar, yang rencananya akan digunakan untuk merangsang perekonomian serta proyek infrastruktur besar seperti “jembatan darat” di wilayah selatan negara tersebut untuk memangkas waktu pengiriman dari Asia serta rencana untuk melegalkan kasino raksasa untuk meningkatkan pendapatan pajak.
BACA JUGA: MK Thailand Berhentikan PM Srettha terkait Penunjukkan KabinetDalam pidato pertamanya sebagai perdana menteri, Paetongtarn mengatakan bahwa dia “berkewajiban untuk menjadikan setiap jengkal wilayah Thailand sebagai tanah penuh peluang, tempat setiap orang berani bermimpi, berkreasi, dan menulis masa depan mereka sendiri.”
Masalahnya, menurut kritikus Paetongtarn, banyak warga Thailand tidak lagi melihat negara mereka sebagai tempat yang penuh peluang. Utang rumah tangga Thailand mencapai rekor tertinggi [lebih dari 90 persen], upah rendah, dan pemilih pro-demokrasi mengatakan ekonomi terbagi oleh bisnis monopoli dan kekuasaan politik dibagi oleh elit sempit, yang untuk saat ini kembali didominasi oleh keluarga Paetongtarn.
"'Citra' keluarga Shinawatra tidak laku akhir-akhir ini, kebijakan populis terbukti tidak berhasil karena 20 tahun telah berlalu dan rakyat masih miskin dan terlilit utang." kata Aat Pisanwanich, seorang akademisi independen dan pakar ekonomi internasional, kepada VOA. "Di bawah pemerintahan ini, semuanya akan sama saja jika tidak lebih buruk... berdasarkan banyak wawancara dengan Paetongtarn, dia tidak begitu memahami masalah ekonomi kita."
BACA JUGA: Putri Thaksin Shinawatra Jadi PM Thailand, Janji Perbaiki EkonomiSelain itu, dikhawatirkan juga akan ada ancaman yang mengintai dari dalam politik Thailand. Di mana loyalitas dan aliansi berubah dengan cepat dan pengadilan selalu siap sedia untuk campur tangan.
Analis Sirote mengatakan, pemerintah akan bersiap menghadapi kemungkinan "keadaan menegangkan" seperti calon anggota kabinet yang diperiksa karena kesalahan masa lalu atau aset mencurigakan yang mungkin dimiliki Paetongtarn.
Tetapi, anda tidak akan pernah bisa mengesampingkan sebuah keluarga yang memiliki tiga anggota langsung sebagai perdana menteri dan dua anggota lainnya yang merupakan pemimpin partai. tambahnya.
"Sekalipun terjadi sesuatu pada Paetongtarn secara politik, citra keluarga Shinawatra tidak akan hilang begitu saja dari politik Thailand." [rz/rs]