Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay kepada kepada VOA mengatakan, DPR di satu sisi menjadikan pasal 76 ayat 2 UU 2/2021 tentang Otonomi Khusus Papua sebagai acuan. Namun, di sisi lain mereka melupakan, bahwa pasal itu juga mensyaratkan adanya aspirasi masyarakat Papua.
Karena tidak ada proses penyampaian aspirasi masyarakat Papua selama penyusunan, Gobay menilai RUU pemekaran Papua ini cacat hukum.
“Di sini secara tegas dan secara terang benderang, mereka mengabaikan frasa aspirasi masyarakat yang ada dalam redaksi pasal 76 ayat 2. Indonesia kan negara hukum. Akan sangat tidak logis dan tidak berdasar hukum, apabila perumusan RUU yang cacat hukum itu dipertahankan,” ujar Gobay.
BACA JUGA: DPR: Pemekaran Papua Lebih Cepat Lebih BagusMasyarakat, bahkan dunia internasional, kata Gobay, akan menyangsikan kualitas legislator, karena menyusun kebijakan tanpa mengikuti aturan yuridis yang berlaku.
Semestinya Melalui Aspirasi
Pasal 76 ayat 2 UU 2/2021 tentang Otonomi Khusus Papua berbunyi: Pemerintah dan DPR dapat melakukan pemekaran daerah provinsi atau kabupaten/kota, menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat serta mengangkat harkat dan martabat orang Papua dengan memperhatikan aspek politik, administrasi, hukum, kesatuan sosial budaya, kesiapan sumberdaya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masyarakat yang akan datang dan atau aspirasi masyarakat Papua.
“Kami tanyakan kepada Ibu Ketua DPR, untuk menjaga nama baik institusi legislatif Indonesia, maka, semestinya RUU yang diatur tidak sesuai dengan mekanisme perumusan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, semestinya ini dibatalkan,” lanjutnya.
Selain mencemarkan pamor lembaga legislatif, jika RUU ini diteruskan menurut Gobay juga akan menunjukkan bahwa UU Otonomi Khusus Papua, dalam konteks perumusan kebijakan pemekaran, bersifat anti demokrasi.
“Kita lihat dari redaksi pasal 76 ayat 2, dia memberikan legalitas bagi terbukanya aspirasi masyarakat, tetapi kemudian dipraktikkan oleh oknum-oknum legislatif DPR dengan cara yang anti demokrasi,” tambah Gobay.
Sikap rakyat Papua beberapa waktu terakhir yang melakukan aksi demonstrasi penolakan pemekaran, menurut Gobay, merupakan bukti bahwa perumusan RUU pemekaran Papua anti demokrasi.
Karena pemekaran akan memiliki dasar hukum sebuah undang-undang, maka pembentukan RUU harus memenuhi syarat UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU ini jelas memberikan ruang demokrasi kepada rakyat untuk terlibat dalam perumusan perundang-undangan. Sesuatu yang tidak dialami oleh masyarakat Papua dalam proses pembentukan RUU pemekaran.
Masyarakat Papua sendiri menggelar sejumlah aksi demostrasi penolakan pemekaran di sejumlah tempat. Di Jayapura dan Manokwari aksi berlangsung pada 8 Maret 2022, disusul di Wamena pada 10 Maret. Berlanjut ke Paniai pada 14 Maret, Yahukimo pada 15 Maret, Lani Jaya pada 30 Maret, Nabire pada 31 Maret. Sementara Sorong, Merauke, Kaimana dan Jayapura serentak berdemo pada 1 April lalu.
Hanya Demokrat “Menolak”
Dari lima provinsi baru hasil pemekaran di Papua, DPR telah menyetujui RUU tiga provinsi, yaitu Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan Tengah melalui Rapat Paripurna DPR, Selasa (12/4).
Your browser doesn’t support HTML5
Delapan dari sembilan fraksi di DPR menyatakan persetujuan dengan menyerahkan pandangan fraksi secara tertulis. Hanya Demokrat yang meminta aspirasi masyarakat Papua didengarkan kembali, seperti disampaikan juru bicaranya, Debby Kurniawan yang membacakan pandangan fraksinya di depan sidang.
“Dalam proses percepatan pemekaran Papua, diperlukan sosialisasi melalui pendekatan-pendekatan secara persuasif. Melalui dialog dan musyawarah, agar kebijakan bersifat bottom up, yang memperhatikan aspirasi dan keinginan masyarakat daerah. Dalam dialog tersebut, semua pihak harus dilibatkan dan didengarkan suaranya,” papar Debby.
BACA JUGA: Pemekaran Provinsi: DPR Bergerak, Papua MenolakFraksi Partai Demokrat setuju, bahwa pemekaran mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Pemerataan juga mempercepat terwujudnya pemerataan dan kesejahteraan masyarakat. Namun, proses dan prosedurnya harus mengacu pada UU Pemerintahan Daerah dan UU Otonomi Khusus Papua.
Landasan logis juga harus diperhatikan. Misalnya pendekatan pelayanan dan pemberian kewenangan lebih kepada masyarakat lokal, untuk mengelola potensi sumber daya wilayah secafa adil, sesuai kapasitasnya. Selain itu, Fraksi Partai Demokrat juga melihat biaya pemekaran yang triliunan rupiah, harus menjadi pertimbangan.
“Fraksi Partai Demokrat meminta RUU ini dikembalikan kepada pengusul agar mendapat masukan yang komprehensif dari masyarakat Papua,” lanjut Debby.
Pengusul Tetap Bersikukuh
Dalam pernyataan melalui laman DPR, Wakil Ketua Komisi II DPR yang sekaligus salah satu pengusul RUU pemekaran, Syamsurizal kembali menekankan pentingnya pembentukan provinsi baru ini. Dia mengatakan, tujuan pemekaran adalah memperpendek rentang kendali, agar wilayah-wilayah yang membutuhkan dukungan pemerintah provinsi, lokasinya dekat.
“Seperti provinsi Papua Pegunungan Tengah contohnya. Itukan wilayahnya agak berat. Kita letakkan ibu kota di pegunungan tengah itu, ada gubernurnya, ada segala macam. Sehingga program-program pembangunan itu dikendalikan di satu provinsi Pegunungan Tengah, tidak oleh pemerintah yang ada di ibu kota Papua yang sekarang ini. Terlalu jauh,” ujar Syamsurizal.
Dia juga mengatakan, pembangunan sumber daya manusia dan infrastruktur untuk mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua akan lebih pendek rentang kendalinya. Dengan demikian, jangkauannya, dukungan pendanaan, dukungan program dan lain sebagainya akan lebih mudah.
“Jadi ini tujuan memperpendek rentang kendali itu, supaya sentuhan pembangunan, sentuhan program dapat segera diwujudkan dengan pembentukan provinsi baru,” tandas Syamsurizal. [ns/ab]