Sejumlah organisasi dan aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (KMPKP) pada Jumat (21/6) melaporkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari dan seluruh anggota KPU, yaitu Parsadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Mochammad Afifudin, Betty Epsilon Indroos, Idhal Holik dan August Mellaz ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jumat (21/6) karena dianggap tidak memenuhi batas minimal keterwakilan perempuan.
Kuasa hukum KMPKP yang juga peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal menyatakan ketua dan seluruh anggota KPU periode 2022-2027 seharusnya mengakomodasi paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada daftar bakal calon legislatif di Pemilu DPR dan DPRD untuk 2024.
Padahal ketentuan tersebut merupakan perintah eksplisit dari Pasal 245 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Lebih parahnya, lanjut Haykal, pengabaian hukum tersebut dilakukan secara terang-terangan dengan melanggar perintah hukum Putusan Mahkamah Agung (MA). Demikian pula dengan putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menyatakan bahwa tindakan KPU yang tidak menindaklanjuti secara sah dan menyakinkan merupakan suatu pelanggaran administratif Pemilu, tegas Haykal.
“Kalau dilihat KPU sekarang banyak sekali tidak mengindahkan putusan-putusan yang memerintahkan untuk dilakukan perubahan mulai dari putusan MA kemudian keputusan Bawaslu hingga berujung pada putusan MK yang memerintahkan PSU,” kata Haykal.
Selain Perludem, lembaga swadaya masyarakat lainnya yang tergabung dalam koalisi adalah Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), INFID, Netgrid, Perludem, ICW dan Institute Perempuan.
KPU diketahui menggunakan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 sebagai acuan pemenuhan keterwakilan 30 persen dalam Pemilu 2024. Dalam peraturan tersebut, KPU melakukan pembulatan ke bawah jika hitungan jumlah 30 persen calon legislatif perempuan memunculkan angka desimal.
Padahal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan pembulatan terhadap jumlah calon legislatif perempuan seharusnya dilakukan ke atas, bukan ke bawah. Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 itu pun sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum tetap setelah dilakukan uji materi ke MA. Putusan MA memerintahkan KPU untuk merevisi peraturan tersebut.
Pengabaian yang dilakukan KPU tersebut berdampak cukup fatal karena menimbulkan sengketa di Daerah Pemilihan (Dapil) VI untuk pemilihan anggota DPRD Gorontalo dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan PKS itu untuk menggelar pemungutan suara ulang.
Menurut perhitungan dari KMPKP, diperkirakan jumlah caleg perempuan yang berkurang mencapai 267 orang di DPR akibat tidak terpenuhinya keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Jika ditotal dengan caleg DPRD provinsi dan kabupaten/kota, jumlahnya bisa lebih dari 8 ribu perempuan yang kehilangan haknya menjadi calon anggota legislatif.
Untuk itu koalisi meminta DKPP menjatuhi sanksi pemberhentian tetap bagi Ketua KPU Hasyim Asy’ari dan dua anggota KPU Idham Holik dan Mochammad Afifuddin karena dianggap telah melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara. Ketiganya dinilai sadar dan sengaja telah mengabaikan ketentuan keterwakilan perempuan pada daftar pencalonan. Pengabaian ini mencederai kredibilitas Pemilu, kehormatan penyelenggaran Pemilu dan merugikan banyak perempuan politikus pada Pemilu 2024. Sementara anggota KPU lainnya diminta dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir.
Titi Anggraini, pengajar hukum Pemilu di Universitas Indonesia mengatakan KPU wajib melaksanakan putusan pengadilan. Sebab, KPU harus bekerja sesuai dengan kerangka hukum pemilu, termasuk menjalankan putusan pengadilan, baik Putusan MK, Putusan MA, ataupun putusan pengadilan lainnya yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pengabaian atas putusan pengadilan, tambahnya, bisa mengakibatkan ketidakpastian hukum dan timbulnya gugatan hukum atas ketidakpuasan atas sikap KPU yang mengabaikan putusan pengadilan tersebut. Contohnya saja, kata Titi, ketika KPU membangkangi Putusan MA Nomor 24 P/HUM/2023 terkait keterwakilan perempuan, dampaknya harus dibayar mahal oleh negara. Ketika digugat ke MK, akhirmya MK membatalkan hasil pemilu dan memerintahkan pemungutan suara ulang sebagaimana terjadi di dapil 6 Pemilu DPRD Provinsi Gorontalo.
Titi menjelaskan ketika MK sudah memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) karena KPU tidak melaksanakan ketentuan UU Pemilu terkait keterwakilan perempuan, KPU harus melaksanakan Putusan tersebut dengan sebaik-baiknya sebagaimana isu atau bunyi yang ada dalam Putusan.
BACA JUGA: Perempuan dan Politik: di Yogya atau West Virginia Nasibnya Sama“Pengabaian atas perintah Putusan Pengadilan akan membawa dampak dari sisi hukum ataupun etika. Sikap KPU bisa terus dipersoalkan baik melalui gugatan di Bawaslu dan pengadilan, maupun diadukan ke DKPP karena telah melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu,” kata Titi.
Jika terbukti lanjut Titi, sanksinya yang terberat bisa sampai pada pemberhentian tetap dari keanggotaan KPU.
Titi menduga KPU tidak bisa mandiri dalam membuat keputusan dalam mengelola tahapan pemilu 2024 akibat tidak mampu melepaskan diri dari tekanan atau pengaruh partisan partai-partai di parlemen yang tidak menginginkan KPU melaksanakan putusan MA ataupun Putusan Bawaslu soal keterwakilan perempuan.
Your browser doesn’t support HTML5
Selain itu problem integritas dan minimnya komitmen pada nilai-nilai demokrasi yang inklusif serta sikap pragmatis yang terlalu dominan ikut berkontribusi pada sikap KPU yang tidak melaksanakan putusan MA maupun putusan Bawaslu meskipun isinya sudah sangat jelas.
Hingga laporan ini diturunkan, pihak KPU tidak merespons permintaan konfirmasi oleh VOA. [fw/ft]