Ketegangan antara China dan Australia meningkat sepanjang tahun ini setelah Canberra menuntut sebuah penyelidikan independen terhadap asal mula dari pandemi virus corona. China menanggapi hal itu dengan meningkatkan tarif terhadap impor Australia.
China memberlakukan tarif terhadap jelai, daging sapi, anggur, batu bara dan produk lain dari Australia, dan menyebut langkah itu sebagai tanggapan terhadap kebijakan perdagangan Australia yang ilegal.
Para kritikus mengatakan tindakan Beijing itu merupakan bagian dari sebuah ofensif diplomatik yang ditujukan terhadap sekutu Amerika di kawasan itu. Australia dianggap sebagai anggota penting dari aliansi keamanan yang sedang berkembang, termasuk India dan Jepang.
Pertikaian dengan Canberra juga menggarisbawahi bagaimana Beijing kini melancarkan ofensif diplomatik di media sosial, khususnya di Twitter.
Twitter telah diblokir di China sejak 2009, tetapi pemerintah memanfaatkan media itu sebagai bagian dari strategi propaganda di luar negeri, dan memanfaatkan platform itu untuk memperkuat pesan-pesan yang ditujukan pada pengamat asing.
Bulan lalu, sebuah penyelidikan selama empat tahun merekomendasikan agar 19 tentara yang mantan dan masih berdinas dihadapkan pada penyelidikan kejahatan sehubungan pembunuhan 39 warga Afghanistan dalam 23 insiden terpisah selama perang berlangsung di sana.
Pada 29 November, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian mengunggah di Twitter sebuah foto yang dimanipulasi menggambarkan seorang tentara Australia yang tertawa dan memegang sebuah pisau ke leher seorang anak Afghanistan.
Unggahan itu ini mengundang kecaman dari anggota parlemen Australia dan Perdana Menteri Scott Morrison, yang menuntut China agar menghapus foto itu dan minta maaf.
Tuntutan itu diabaikan dan kemungkinan malah membuat pejabat China berbuat lebih nekad lagi. Sebuah laporan oleh German Marshall Fund yang berkantor di Washington menunjukkan bahwa antara 27 November dan 3 Desember, Australia adalah negara ketiga yang paling banyak disebut oleh pemerintah China dan akun Twitter milik media pemerintah.
Cuitan Zhao yang kontroversial itu, dengan 73 ribu likes dan pencuitan ulang sebanyak 20 ribu kali, tampaknya telah menambah pengikut Twitternya sebanyak 10 persen.
Analis mengatakan, tampaknya langkah ini juga telah menggalakkan sentiment nasionalis di dalam negeri China, di mana media berita meliput pertikaian ini dari perspektif Beijing. [jm/pp]