Rico Ardika Panjaitan yang mengajukan laporan pengaduan masyarakat ke Polda Bali pada 2 Agustus 2021 lalu, menjelaskan kepada VOA, terkait dua hal yang mendorongnya bertindak. Peristiwa pertama adalah aksi demonstrasi yang dilakukan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di depan kantor LBH Bali. Menurut Rico, dalam orasi, para demonstran menyuarakan kemerdekaan Papua dan Papua Barat. Juga ada ungkapan Papua bukan Merah Putih dan Papua Bintang Kejora.
“Titik akhirnya adalah saya melihat YLBHI Bali itu menentukan sikap politiknya, ketika dia meng-upload sebuah poster ketika oknum Angkatan Udara menginjak kepala salah satu masyarakat Papua. Latar dari poster tersebut adalah bendera Bintang Kejora ini,” kata Rico menjelaskan penyebab kedua dari laporannya.
Aksi mahasiswa Papua sendiri digelar 31 Mei 2021 lalu, sedangkan LBH Bali mengunggah poster yang disebut Rico, pada 28 Juli 2021. Meski terpisah, Rico memandang keduanya saling seiring, berirama dan tidak bisa terpisahkan.
Sebagai advokat, Rico mengaku tidak mempermasalahkan apa yang dilakukan para pengacara di LBH Bali sebagai pembela hukum. Dia juga menyatakan sangat setuju dengan upaya penanganan kasus HAM berat untuk diproses sebagaimana mestinya. Namun, ketika bersuara tentang isu merdeka, kata Rico, ada aturan hukum yang dilanggar.
“Artinya, dia bukan sebagai advokat disana, tetapi sebagai pribadi atau lembaga. Saya kurang paham juga apakah itu sikap pribadi atau sikap lembaga, yang menentukan sikap politiknya,” tambah Rico Kamis malam.
Rico berharap laporan pengaduan masyarakat yang diajukannya ditindaklanjuti oleh Polda Bali sesuai aturan hukum yang berlaku. Jika tidak, dia akan menempuh jalur yang diberikan hukum agar proses tersebut bisa berjalan. Dia memastikan, tidak memiliki masalah dengan masyarakat Papua yang pro Indonesia, dan hanya mempersoalkan mereka yang ingin memerdekakan diri. Laporan itu, lanjut Rico,didukung penuh organisasi tempatnya bernaung, yaitu Patriot Garuda Nusantara.
Dinilai Sebagai Serangan Balik
Dalam penjelasan resmi pada Kamis (5/8), Direktur LBH Bali Ni Kadek Vany Primaliraning mengaku, mengetahui bahwa pihaknya dilaporkan ke Polda dari media. Pihaknya kemudian mengetahui, bahwa laporan tersebut terkait dengan tuduhan telah melakukan makar.
“Menjadi menarik bahwa, tuduhan tersebut ditujukan ketika kami melakukan pendampingan aksi terhadap kawan-kawan mahasiswa Papua,” kata Vary.
Kasus tersebut berawal pada 27 Mei 2021, ketika AMP memohon pendampingan hukum terkait aksi yang akan mereka gelar pada 31 Mei. Seluruh persyaratan terkait aturan menggelar aksi telah terpenuhi dan tidak ada masalah. Pada hari pelaksanaan aksi, mahasiswa tidak bisa menuju ke markas Polda Bali, karena dihalangi oleh anggota Organisasi Masyarakat (Ormas) dan aparat keamanan. Mereka akhirnya memutuskan untuk menggelar aksi di depan kantor LBH Bali dan membubarkan diri setelah selesai.
“Kami juga masih bertanya, makar seperti apa yang kemudian dituduhkan kepada LBH Bali, karena kami menjalankan profesi advokat, kami memberikan bantuan hukum,” tambah Vary.
Apa yang dilakukan LBH Bali kepada mahasiswa Papua, sama seperti pendampingan hukum yang diberikan kepada buruh atau mahasiswa lain.
Your browser doesn’t support HTML5
Vany juga mengaku kaget dan menilai laporan terkait postingan di akun media sosial LBH Bali tidak masuk akal, karena peristiwa yang digambarkan dalam poster tersebut nyata adanya. Peristiwa tersebut terjadi di Merauke pada 26 Juli 2021, dan TNI AU beserta pemerintah telah menjanjikan penindakan lebih lanjut.
Sementara itu, Muhamad Isnur dari YLBHI mengecam laporan kepada polisi tersebut, yang mengaitkan LBH Bali dan direkturnya dengan kasus makar.
“Ini adalah bentuk serangan atau ancaman balik kepada upaya-upaya penegakan hukum,” ujar Isnur.
Dia menggarisbawahi, laporan semacam ini bukan hal baru bagi pada pembela hukum di YLBHI. Isnur memastikan, Vany dan LBH Bali tidak hanya dilindungi oleh UU Bantuan Hukum tetapi juga dilindungi UU Advokat. Perlindungan itu tidak hanya di dalam upaya peradilan tetapi juga di luar peradilan. Pelaporan ini tidak hanya menghina UU Bantuan Hukum dan UU Advokat, tetapi lebih miris lagi karena dilakukan oleh seorang calon advokat.
Tuduhan Makar Tidak Sederhana
Sementara pengacara senior di Bali, Gede Widiatmika mengajak seluruh pihak untuk melihat persoalan ini secara jelas. Titik pentingnya adalah di Polda Bali, apakah akan meneruskan laporan pengaduan masyarakat tersebut atau tidak. Polda Bali, kata Gede, harus memahami UU Bantuan Hukum dan UU Advokat dan respon yang memadai terkait masalah ini.
“Pelapor itu kadang harus diberi edukasi juga, jangan asal melapor. Pelapor juga harus bertangung jawab soal laporannya,” ujar Gede.
Mantan Hakim Konstitusi, I Dewa Gede Palguna lebih jauh lagi, memandang pelaporan ini sebagai sesuatu yang lucu. Guru Besar Hukum Universitas Udayana, Bali ini menyebut tindakan makar bukan sesuatu yang sederhana.
“Makar itu ada niat untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan itu ada tindakan permulaan dan macam macam,” kata Palguna.
Advokat, kata Palguna, tidak bisa dikaitkan dengan seseorang yang didampingi dalam perkara hukum. Seandainya klien mereka seseorang yang terlibat organisasi yang dilarang negara, tidak otomatis advokat yang membelanya dianggap berada pada pihak yang sama. Prinsipnya kata Palguna, seseorang yang kasat mata terlihat bersalah saja tetap harus didampingi secara hukum.
“Negara harus menjalankan tugasnya untuk menjaga ketertiban umum, tetapi di pihak lain dalam menjalankan tugasnya itu negara tidak boleh melanggar hukum. Karena itu harus didampingi,” ujar Palguna. [ns/ab]