Proses hukum terhadap dua jurnalis asal Inggris Neil Borner dan Becky Prosser yang ditangkap di Batam ketika melakukan pembuatan film dokumenter bertema perompakan di Selat Malaka pada 28 Mei lalu masih terus berlanjut. Awal oktober ini pengadilan terhadap kedua jurnalis itu telah digelar di Pengadilan Negeri, Batam.
Direktur Jenderal Imigrasi, Ronny F Sompie kepada VOA, Kamis (15/10) mengatakan proses hukum terhadap Neil Borner dan Becky Prosser, dua wartawan asal Inggris ini akan terus berlanjut hingga tuntas, agar ada efek jera.
Dalam melakukan kegiatan jurnalistik di Indonesia, kata Sompie, kedua wartawan asal Inggris ini tidak mematuhi aturan yang ada. Mereka, tambahnya, tidak mengantongi izin atau visa khusus dari Kementerian Luar Negeri dalam melakukan kegiatan jurnalistiknya.
Neil Borner dan Becky Prosser tambah Sompie hanya menggunakan visa turis dalam melakukan pembuatan film documenter di Batam. Meskipun Presiden Joko Widodo telah menyatakan komitmennya untuk membuka akses bagi wartawan asing untuk meliput di wilayah Indonesia termasuk wilayah konflik, tetapi semua itu, lanjut Sompie, tetap ada aturan yang harus dipatuhi oleh wartawan asing.
"Jadi kegiatan jurnalistik di wilayah Indonesia itu harus melalui izin Kementerian Luar Negeri. Nah, Kemenlu tidak memberikan izin tersebut mereka melakukan kegiatan dengan visa turis," kata Sompie.
Ronny Sompie menambahkan lembaganya hanya menegakkan hukum semata dalam kasus dua jurnalis asal Inggris tersebut. Menurutnya, tidak ada upaya apapun untuk membungkam pers atau melakukan tindakan sewenang-wenang.
Lembaganya bahkan mengabulkan penangguhan penahanan terhadap kedua jurnalis itu ketika mereka mengajukannya. Mereka hanya ditahan selama 14 hari. Meski demikian, proses penyidikan tambahnya terus berjalan.
Neil Bonner(32 tahun) dan Rebecca Prosser (31 tahun) beberapa waktu lalu disidang dengan dakwaan menyalah-gunakan visa turis untuk membuat film dokumenter.
Dalam dakwaan disebutkan, kedua jurnalis tiba di indonesia Mei lalu, untuk membuat dokumenter bagi Wall to Wall dengan pendanaan dari National Geographic. Mereka menyewa sejumlah orang Indonesia di Batam untuk menirukan adegan sebuah kapal tanker yang diduduki segerombolan perompak. Mereka diancam dengan hukuman lima tahun penjara.
Dia mengatakan penegak hukum hanya menjalankan sesuai Undang-undang yang ada. Ini menurutnya persoalan kewibawaan dan kedaulatan negara
Sompie menambahkan, "Ini UU (undang-undang) masalahnya, bukan kita sewenang-wenang makanya diuji di pengadilan. Di pengadilan itulah kita bisa melihat apakah yang dilakukan oleh penyidik imigrasi itu keliru atau tidak."
Sementara, ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Sarjono menilai seharusnya kedua jurnalis tersebut tidak perlu diproses hukum karena pelanggaran mereka hanya pelanggaran administrasi visa yang cukup dengan deportasi.
Kasus ini, kata Sarjono, merupakan ancaman kebebasan pers di Indonesia bahwa ternyata Indonesia belum betul-betul memberikan kebebasan. Sekarang ini, tambahnya, kebebasan pers di Indonesia termasuk yang buruk dalam hal perizinan.
Dia mencontohkan, sekarang ini wartawan asing yang ingin meliput di wilayah Indonesia termasuk di daerah konflik harus mendapatkan izin dari 11 instansi yang menjadi lembaga clearing house, di antaranya Kemenlu, Badan Intelijen Negara, Polri, Kominfo, TNI, Kementerian Pariwisata, dan Kemenkopolhukam.
Untuk itu, AJI katanya telah meminta hal tersebut agar dihilangkan. Menurutnya, izin dari 11 instansi memakan waktu yang lama.
"Justru itu yang kita dorong untuk dihilangkan, kenapa harus pakai 11 izin?, (saya rasa) cukup Kemenlu saja. Kemenlu melihat administrasi gak ada masalah , 2/3 hari cukuplah," ujar Sarjono.
Kasus seperti yang terjadi pada dua jurnalis asal Inggris ini bukan baru pertama kali terjadi di Indonesia. Sebelumnya, dua wartawan Prancis yang membuat dokumenter di Papua dijatuhi hukuman penjara dua setengah bulan dengan dakwaan yang sama, yaitu menggunakan visa turis untuk melakukan kegiatan jurnalistik.
Saat ini, Indonesia masih berada di peringkat ke 138 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia tahun 2015.