Disinformasi seperti penyebaran berita palsu dan hoaks, semakin meluas di AS. Sebuah studi oleh Pew Research Center mendapati sekitar 50 persen warga Amerika menilai masalah disinformasi ini merupakan ancaman lebih besar dibandingkan terorisme, imigrasi ilegal, kejahatan disertai kekerasan atau rasialisme.
Masyarakat dunia maya telah menerapkan berbagai usaha untuk melawan disinformasi, di antaranya pembentukan organisasi fact checking dan prakarsa pencegahan oleh penyelenggara situsnya.
Jessica Brandt, direktur kebijakan untuk artificial intelligence and emerging technology initiative di Brookings Institution, mengatakan pada VOA, “Saya rasa kita menyaksikan berbagai kegiatan di berbagai sudut masyarakat, platform yang menggiatkan identifikasi dan pencopotan dari apa yang disebut perilaku terkoordinir ini. Kita saksikan kelompok masyarakat sipil memaparkan kegiatan ini dan melakukan kampanye literasi media yang membantu membangun ketahanan lewat penyuluhan publik dan membina pemahaman lebih baik tentang cara kerja lingkungan media. Menurut saya ini semua kegiatan yang sangat membantu.”
Organisasi fact checking atau periksa fakta merekrut jurnalis dan peneliti yang menelusuri klaim dalam artikel berita di media arus utama dan media sosial untuk menguji kehandalannya.
Adi Syafitrah, salah seorang staf MAFINDO atau Masyarakat Anti Fitnah Indonesia mengatakan pada VOA, mereka juga menggunakan berbagai piranti lain.
“Kami memanfaatkan alat-alat yang tersedia di Internet baik yang tersedia oleh Google ataupun mesin pencari yang lain. Misalnya untuk penelusuran foto kami menggunakan Google Reverse Images. Kalau fotonya terindikasi editan maka kami akan menelusuri hingga kami menemukan foto asli dari foto editan tersebut. Begitu juga dengan video atau narasi palsu. Kami akan telusuri sampai kami temukan bukti, oh ternyata konten baik video, foto atau narasi itu palsu, lalu setelah semua bukti kami dapatkan kami membuat sebuah artikel yang bisa disampaikan kepada masyarakat sehingga masyarakat tahu,” jelasnya.
Kinerja MAFINDO ini berkesan dan menurut Adi Syafitrah, “MAFINDO itu sudah melakukan usaha periksa fakta sebanyak lebih dari sepuluh ribu artikel, sementara kalau saya sendiri kurang lebih 1.400 artikel yang saya periksa fakta sejak tahun 2019.”
Menurut Brandt, dalam lima tahun terakhir Amerika mencapai kemajuan dalam menanggapi masalah disinformasi ini, dimulai dengan membangun kesadaran tentang masalah ini dan membangun ketahanan publik.
“Misalnya pada 2016 kita sama sekali tidak siap dan sejak itu FBI mengembangkan gugus tugas untuk menanggapi campur tangan pihak asing dalam pemilihan. Banyak cabang pemerintahan melakukan perlawanan, dan kalau pada 2016 aktor Rusia bisa membeli iklan di media sosial kita, hal itu tidak akan terjadi lagi. Plaftorm media sosial sudah mencapai kemajuan dari segi melawan disinformasi dengan kemampuan deteksi dan sebagainya. Apa ini merupakan terobosan? Tidak, tetapi posisi kita jauh lebih bagus untuk menanggapi isu ini dibandingkan lima tahun yang lalu,” jelasnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Penyelenggaraan pemilu pada 2020 dan 2022 yang berjalan mulus merupakan hasil nyata dari usaha ini.
Brandt mengingatkan bahwa pendidikan kewarganegaraan dan literasi media merupakan unsur penting membangun ketahanan masyarakat.
Hal senada juga dikemukakan oleh Adi Syafitrah, dan MAFINDO selain bekerja sama dengan berbagai organisasi pengawasan menjelang pemilu di Indonesia juga menyelenggarakan berbagai program edukasi untuk menyadarkan masyarakat dengan momok disinformasi yang hadir di internet. [jm/em]