Dewan Keamanan PBB mengesahkan resolusi penting mengenai Myanmar, Rabu, yang menuntut junta militer agar segera mengakhiri kekerasan di negara Asia Tenggara itu dan membebaskan semua tahanan politik, termasuk pemimpin tersingkir Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint.
Resolusi itu, yang pertama disahkan PBB mengenai Myanmar sejak negara itu menjadi anggota pada April 1948, juga meminta junta agar segera dan secara konkret menerapkan konsensus lima poin ASEAN dan menghormati kehendak demokratis rakyat Myanmar. Resolusi itu disahkan dengan 12 suara mendukung dan tiga abstain dari China, India dan Rusia.
BACA JUGA: Keluarga-Keluarga Myanmar Memohon Bantuan Setelah 7 Mahasiswa Dijatuhi Hukuman MatiTindakan ini sulit dicapai, kata sebagian dari 15 anggota Dewan Keamanan, karena China dan Rusia, dua anggota tetap Dewan, secara konsisten menentang tindakan kuat terkait krisis Myanmar.
“Hari ini kami mengirim pesan tegas kepada militer bahwa tidak boleh ada keraguan – kami berharap resolusi ini akan diimplementasikan secara penuh,” kata Duta Besar Inggris untuk PBB Barbara Woodward kepada Dewan setelah pemungutan suara mengenai resolusi yang dirancang Inggris itu.
Woodward menambahkan bahwa resolusi itu mengamanatkan Sekjen PBB untuk memberi pengarahan mengenai situasi di Myanmar pada musim semi ini. Ini “akan menjadi kesempatan penting untuk menilai perkembangan di lapangan dan kami siap untuk mengambil tindakan lebih jauh yang diperlukan.”
“Kami juga mengirim pesan jelas kepada rakyat Myanmar bahwa kami mengupayakan kemajuan sesuai dengan hak-hak, harapan dan kepentingan mereka,” kata Woodward.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyambut baik resolusi tersebut. Dalam pernyataan tertulis yang dirilis hari Rabu, Blinken mengatakan pengesahan resolusi itu merupakan langkah penting yang diambil Dewan Keamanan. Tetapi ia menambahkan masih banyak hal yang harus dilakukan.
“Meskipun kami memuji pengesahan resolusi ini, Dewan masih memiliki banyak lagi pekerjaan yang harus dilakukan untuk memajukan solusi yang adil bagi krisis di Myanmar. Dewan Keamanan harus memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari cara-cara tambahan guna mendorong kembali ke jalur demokrasi, memajukan akuntabilitas atas tindakan rezim, dan mendukung upaya ASEAN untuk mencapai penerapan Konsensus Lima Butir secara bermakna,” katanya.
Seraya membacakan pernyataan dari Pemerintah Persatuan Nasional di pengasingan, Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun mengatakan kepada wartawan setelah pemungutan suara bahwa resolusi itu “menunjukkan kemajuan Dewan Keamanan dalam mengambil tindakan mengenai krisis serius di Myanmar dan ancaman junta terhadap perdamaian internasional dan stabilitas keamanan, terlepas dari unsur-unsur positif yang terkandung dalam resolusi dan tantangan bagi pengesahannya.” Ia menambahkan bahwa ia ingin melihat bahasa yang lebih kuat dalam resolusi tersebut.
China, yang abstain dalam pemungutan suara itu, menginginkan Dewan Keamanan mengadopsi pernyataan resmi mengenai Myanmar, bukannya resolusi. “Tidak ada penyelesaian segera bagi masyarakat Myanmar, apalagi solusi dari luar. Apakah dapat diselesaikan dengan baik atau tidak pada akhirnya, pada dasarnya ini tergantung pada Myanmar sendiri,” kata Duta Besar China untuk PBB Zhang Jun, setelah pemungutan suara.
Rusia tidak menganggap Myanmar sebagai ancaman yang perlu mendapat pertimbangan Dewan Keamanan. “Sikap kami pada prinsipnya adalah situasi di Myanmar tidak mewakili ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional,” kata Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia kepada Dewan setelah pemungutan suara. [uh/ab]